Menyambung postingan sebelumnya tentang: Bermain, Cara Anak Belajar Kehidupan. Berikut ini sambungannya, selamat membaca:
Arti Bermain Pada Anak
Menurut UU RI No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, disebutkan anak adalah orang yang berusia 0-21 tahun dan belum menikah. Anak-anak pada umumnya suka meniru sikap dan perilaku orang tua dalam suatu tahap-tahap perkembangan (tumbuh kembang) yang dipengaruhi oleh derajat emosionalnya.
Kita tahu, anak bukan orang dewasa dalam bentuk kecil. Anak adalah manusia yang memiliki dunianya sendiri. Anak merupakan manusia yang masih mengalami perkembangan baik jasmani maupun kejiwaannya. Anak juga manusia yang masih harus mengembangkan segala potensi kognitif, afektif dan psikomotoriknya.
Lebih dari itu, anak adalah manusia yang belum dapat memikul tanggung jawabnya sendiri, belum dapat mengambil keputusan atas tanggung jawabnya sendiri. Jadi, anak itu ialah manusia yang belum dapat memilih mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang aman dan mana yang berbahaya baginya. Anak adalah manusia yang belum mencapai taraf kedewasaannya, masih dalam perkembangan.
Kondisi seperti itulah, harusnya yang perlu dipahami oleh orang dewasa sehingga keberadaan egonya tidak akan “membunuh” terhadap eksistensi dunia anak-anak (baca: bermain) yang mestinya dapat dinikmati oleh setiap anak-anak di manapun.
Di sini yang perlu dipahami dan disadari oleh kita bahwa bermain adalah dunia kerja anak usia pra sekolah dan menjadi hak setiap anak untuk bermain, tanpa dibatasi usia. Dalam pasal (31) Konvensi Hak-Hak Anak (1990) disebutkan, “hak anak untuk beristirahat dan bersantai, bermain dan turut serta dalam kegiatan-kegiatan rekreasi yang sesuai dengan usia anak yang bersangkutan dan untuk turut serta secara bebas dalam kehidupan budaya dan seni”.
Pada konteks seperti itulah, pantas saja Fuad Hassan, mantan Menteri Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan bahwa “…ada ‘pemaksaan’ anak untuk dilibatkan ke dalam proses belajar sedini mungkin. Kelompok Bermain, Taman Kanak Kanak semestinya tidak lantas beralih fungsi menjadi atau menyerupai sekolah, semata-mata karena terbawa oleh anggapan bahwa sebaiknya anak mulai bersekolah sedini mungkin. Kedua bentuk program itu tidak seharusnya berubah menjadi lembaga pendidikan yang melancarkan kegiatan skolastik dan bersifat prestatif dengan akibat menyusutnya kesempatan anak melibatkan diri dalam kegiatan bermain yang bisa dinikmatinya sebagai suasana rekreatif.”
Di sini penekanannya pada tahap perkembangan seorang anak. Yakni masa anak-anak itu diperlukan suatu pendekatan bermain. Dalam hal ini seperti ditegaskan Dra. Menuk Teguh Riyati pada seminar Multiple Intelligence: Modal Membentuk Anak Tangguh dan Sukses bahwa bermain merupakan cara anak belajar tentang kehidupan. Melalui kegiatan bermain, anak dapat bereksplorasi, menemukan jati diri dan mengembangkan ide-ide yang mereka miliki. Bermain juga bisa memperkecil stres anak.
Lebih lanjut diungkapkan Menuk, rasa ingin tahu anak bisa berkembang melalui kegiatan bermain. Bukan itu saja, bermain dapat membantu perkembangan bahasa dan sosio-emosional anak. Yang jelas patut disadari seorang anak itu menurut teori multiple intelligence, anak itu memiliki sembilan kecerdasan. Yakni kecerdasan linguistik, logis matematis, spasial, kinestik jasmani, dan musikal. Kemudian kecerdasan antarpribadi, intrapribadi, naturalis, dan moral. (Republika, 18/5/03).
Bersambung ke: Jenis Permainan Anak
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.
Arti Bermain Pada Anak
Menurut UU RI No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, disebutkan anak adalah orang yang berusia 0-21 tahun dan belum menikah. Anak-anak pada umumnya suka meniru sikap dan perilaku orang tua dalam suatu tahap-tahap perkembangan (tumbuh kembang) yang dipengaruhi oleh derajat emosionalnya.
Kita tahu, anak bukan orang dewasa dalam bentuk kecil. Anak adalah manusia yang memiliki dunianya sendiri. Anak merupakan manusia yang masih mengalami perkembangan baik jasmani maupun kejiwaannya. Anak juga manusia yang masih harus mengembangkan segala potensi kognitif, afektif dan psikomotoriknya.
Lebih dari itu, anak adalah manusia yang belum dapat memikul tanggung jawabnya sendiri, belum dapat mengambil keputusan atas tanggung jawabnya sendiri. Jadi, anak itu ialah manusia yang belum dapat memilih mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang aman dan mana yang berbahaya baginya. Anak adalah manusia yang belum mencapai taraf kedewasaannya, masih dalam perkembangan.
Kondisi seperti itulah, harusnya yang perlu dipahami oleh orang dewasa sehingga keberadaan egonya tidak akan “membunuh” terhadap eksistensi dunia anak-anak (baca: bermain) yang mestinya dapat dinikmati oleh setiap anak-anak di manapun.
Di sini yang perlu dipahami dan disadari oleh kita bahwa bermain adalah dunia kerja anak usia pra sekolah dan menjadi hak setiap anak untuk bermain, tanpa dibatasi usia. Dalam pasal (31) Konvensi Hak-Hak Anak (1990) disebutkan, “hak anak untuk beristirahat dan bersantai, bermain dan turut serta dalam kegiatan-kegiatan rekreasi yang sesuai dengan usia anak yang bersangkutan dan untuk turut serta secara bebas dalam kehidupan budaya dan seni”.
Pada konteks seperti itulah, pantas saja Fuad Hassan, mantan Menteri Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan bahwa “…ada ‘pemaksaan’ anak untuk dilibatkan ke dalam proses belajar sedini mungkin. Kelompok Bermain, Taman Kanak Kanak semestinya tidak lantas beralih fungsi menjadi atau menyerupai sekolah, semata-mata karena terbawa oleh anggapan bahwa sebaiknya anak mulai bersekolah sedini mungkin. Kedua bentuk program itu tidak seharusnya berubah menjadi lembaga pendidikan yang melancarkan kegiatan skolastik dan bersifat prestatif dengan akibat menyusutnya kesempatan anak melibatkan diri dalam kegiatan bermain yang bisa dinikmatinya sebagai suasana rekreatif.”
Di sini penekanannya pada tahap perkembangan seorang anak. Yakni masa anak-anak itu diperlukan suatu pendekatan bermain. Dalam hal ini seperti ditegaskan Dra. Menuk Teguh Riyati pada seminar Multiple Intelligence: Modal Membentuk Anak Tangguh dan Sukses bahwa bermain merupakan cara anak belajar tentang kehidupan. Melalui kegiatan bermain, anak dapat bereksplorasi, menemukan jati diri dan mengembangkan ide-ide yang mereka miliki. Bermain juga bisa memperkecil stres anak.
Lebih lanjut diungkapkan Menuk, rasa ingin tahu anak bisa berkembang melalui kegiatan bermain. Bukan itu saja, bermain dapat membantu perkembangan bahasa dan sosio-emosional anak. Yang jelas patut disadari seorang anak itu menurut teori multiple intelligence, anak itu memiliki sembilan kecerdasan. Yakni kecerdasan linguistik, logis matematis, spasial, kinestik jasmani, dan musikal. Kemudian kecerdasan antarpribadi, intrapribadi, naturalis, dan moral. (Republika, 18/5/03).
Bersambung ke: Jenis Permainan Anak
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.