Memahami Aritmetika Pernikahan dengan Akal (2)

Nikah berarti perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi). Kegiatan nikah ini, orang mengenalnya dengan pernikahan/perkawinan. Lebih jauh dari itu, pernikahan merupakan ikatan ilahiyah. Sebuah ikatan yang mampu menyatakan dua insan dalam kecintaan, kebahagiaan, dan kasih sayang.

A. Pernikahan dan Ketentraman

B.Peran Wanita

Islam memberikan penghargaan kepada wanita dengan sebenarnya, dan membukakan baginya teladan yang mulia dan nilai-nilai akhlak yang tinggi. Dalam pandangan Dr. Abdul Hakam ash-Sha’idi (2001), wanita itu mencerminkan setengah masyarakat manusia, karena mereka adalah pasangan setara laki-laki. Wanita bagi laki-laki adalah ibu, anak wanita, nenek, saudara kandung, atau bibi.
Pada konteks ini, maka wanita sebagai istri memegang peranan penting dalam menjaga, memelihara ketentraman dan kemesraan keluarga sebagai pilar yang mewujudkan sebuah keluarga sakinah. Lagian, dalam kenyataannya wanitalah yang lebih dituntut untuk berusaha keras dalam menyukseskan sebuah bahtera perkawinan. Hal ini wajar dan masuk akal, karena secara psikologis wanita memiliki sensitifitas yang tinggi dalam menganalisis kata-kata, baik yang terucap, maupun yang hanya berupa isyarat selama menjalankan aktivitas berlabuh pada sebuah biduk pernikahan.
Untuk menggapai derajat perilaku yang seperti itu, Erry Soekresno (1995), menyarankan beberapa kiat yang harus dilakukan, antara lain:
  • Senantiasa mengevaluasi diri dan melihat dampak perlakuannya terhadap suami. Berusaha terus untuk menjadi pendengar dan observer yang aktif terhadap segala kebutuhan suami.
  • Berusaha untuk tetap menghidupkan perasaan cinta yang sering tertutupi oleh berbagai perasaan negatif saat marah, sedih atau kecewa. Hindari sikap sombong dan keras kepala. Banyak mengingat kenangan indah yang dialami bersama.
  • Jangan membebani suami dengan masalah pribadi. Muslimahlah yang paling bertanggung jawab untuk menyelesaikannya. Jangan menuntut perhatian yang berlebihan.
  • Cinta adalah menerima, bukan mengubah. Selalu siap menerima segala kekurangan suami. Perubahan bisa terjadi asal datang dari suami jika ia telah merasa diterima dan dicintai apa adanya.
  • Jangan berharap daya magis intuisi suami. Istri sendirilah yang bertanggung jawab untuk membuat suami mengerti keinginan dan harapan-harapannya.
  • Terbukalah terhadap suami. Komunikasikan segala yang tersirat tidak hanya melalui kata-kata, tapi juga tingkah laku dan sensitifitas (baca: keteladanan adalah bahasa tingkah laku-Pen).
  • Selalu mengikuti perkembangan wawasan suami.
  • Hormati komitmen pernikahan. Jagalah diri ketika suami tidak ada.
  • Jangan suka menuduh suami. Apalagi mengkambinghitamkannya atas segenap permasalahan yang dihadapi.
  • Mengikhlaskan pelayanan terhadap suami karena Allah.
  • Memaafkan kesalahan suami.
  • Mampu memberi semangat, menenangkan sekaligus mempesonakan suami.
  • Tingkatkan rasa percaya diri muslimah sebagai istri dengan memperluas wawasan keislaman, meningkatkan kualitas keimanan, akhlak, perubahan penampilan fisik seperti mode rambut, pakaian, dalam rangka ijtihad untuk di rumah dan di kamar tidur. Merawat kulit muka dan tubuh, meningkatkan kebugaran.
Untuk mendapatkan hasil maksimal atas perwujudan kiat-kiat tersebut, tentu harus dipedomani oleh keyakinan atas kebenaran-kebenaran itu, yang sesungguhnya terinspirasi oleh sebuah kewajiban istri terhadap suami sesuai ketentuan-Nya. Keyakinan ini dapat terpatri dalam hati istri, manakala dalam akal-pikirannya telah terisi dengan ilmu-ilmu Allah.
Pada koridor hubungan suami-istri, maka dengan difungsikan dan dikembangkannya potensi akal-pikiran itu akan melahirkan sebuah predikat mulia dalam sebuah pernikahan, yaitu istri sebagai kekasih hati bagi suaminya.
Adapun buah dari telah digenggamnya predikat istri sebagai kekasih hati bagi suaminya tersebut adalah akan melahirkan keyakinan berupa mencintai suami karena Allah SWT, memelihara keutuhan cinta dan rasa hormat suami, menjaga kecemburuan suami, memberikan ketentraman di hati suami dan mengerti hakikat cinta pada suami.
Pola demikian, paling tidak telah diperlihatkan oleh para muslimah teladan di zaman Rasulullah saw. Di antaranya yang dapat disebutkan di sini adalah Khadijah ra, Aisyah ra, Ummu Salamah, Zainab dan Fatimah binti Rasulullah, Asma binti Abu Bakar, Khansa yang lebih dikenal dengan ibu para syuhada, dan Atikah.
Akhirnya, hanya melalui akal-pikiran yang dilejitkan dengan ilmu-ilmu Allah-lah, kita dapat memahami sebuah makna dari aritmetika pernikahan. Itulah barangkali salah satu alasan mengapa Allah SWT dalam Alquran (QS. 58: 11) menyebutkan bahwa dengan ilmu, maka seseorang akan diangkat oleh Allah beberapa derajat. Wallahu’alam.*** {Arda Dinata}

BACA ARTIKEL LAINNYA:

Arda Dinata

Arda Dinata is a writer for various online media, lives in Pangandaran - West Java. www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education | | Source for Sharing Inspiration, Knowledge and Motivation for Success | World of Business, Business, Boss, Rich, Money, Dollars and Success |

Lebih baru Lebih lama