Selalu bersama teman-teman di Yahoo! Messenger
Tambahkan mereka dari email atau jaringan sosial Anda sekarang!Beberapa hari yang lalu, seorang pembaca mengirimkan SMS pada saya, lalu curhat.
Naskahnya sudah delapan kali ditolak oleh penerbit. Ditawarkan ke penerbit yang lain juga masih ditolak. Padahal, katanya kalau mengikuti lomba penulisan bahkan di tingkat provinsi dia juara satu dan selalu menang. Lalu, apa yang salah dan dia meminta saya untuk mengomentari tulisannya.
Begitu lebih kurang isi SMS-nya.
Karena berbagai alasan, saya tidak lagi membaca dan mengomentari naskah yang dikirim ke saya secara pribadi. Saya mengatakan biasanya karena segmen yang terbatas penerbit menolak naskah dan saya menyarankan agar dia terus menulis. Belum ditolak 100x. Penolakan, bagi saya adalah hal yang biasa. Yang membaca JADI PENULIS FIKSI? GAMPANG, KOK! pasti tahu bahwa saya menulis dan naskah cerpen saya dimuat pertama kali setelah ditolak puluhan kali.
Tak terhitung. Yang jelas bisa anda pikir berapa banyak kalau saya sudah mulai menulis dari kelas 1 SMP hampir setiap minggu mengirimkan ke media dan baru dimuat di awal saya kelas 3 SMP. Tapi saya tidak pernah jera karena saya yakin, saya menulis dengan kapasitas terbaik saya---dan sesuatu yang baik, cepat atau lambat pasti akan menghasilkan yang baik pula. Ingat-ingat itu aja biar semangat.
Meskipun, tidak dipungkiri ada banyak penulis yang begitu menulis novel langsung diterima, diterbitkan dan jadi hits. Itu sih nggak usah diceritakan, anggap saja mereka beruntung.
Saya tidak ingin ada orang yang mengatakan bahwa menulis itu hanya kemampuan segelintir orang. Nggak. Siapa saja bisa menulis. Siapa saja bisa menuangkan ide pikiran kreatif lewat tulisan, sama seperti setiap orang bisa berkomunikasi secara lisan. Hanya, masalahnya mau atau tidak. Sungguh-sungguh atau tidak.
Nah, apa saja sih alasannya penerbit menolak naskah kita? Ada banyak, tapi paling tidak ada 10 alasan yang saya ketahui. Bagi teman-teman editor, bisa menambahkan bila ada yang belum tercantum.
1. Tidak sesuai orientasi penerbit.
Misalnya, naskah anda tentang religi islam, sementara anda mengirimkan naskah ke penerbit yang major penerbitan dan orientasinya buku-buku komputer. Sebagus apapun naskah anda, jelas pasti tertolak. Cara untuk mengetahui major penerbitan, ya ke toko buku; lihat-lihat penerbit A, B, dst. Nerbitin buku apa aja. Kalau perlu, ya telpon editornya lah. Sekarang tiap penerbit kayaknya punya web dan bisa diketahui contact editor atau redaksinya.
2. Segmen terbatas.
Anda punya naskah bagus sekali, ditulis dengan bagus dan lengkap pula, tapi segmen pasarnya terbatas. Misalnya, cara membuat gudeg Jogja. Sebagus apapun naskah dan penulisan materi ini, pasti akan ditolak karena pangsa pasarnya yang sempit. Nggak semua orang Jogja juga mau membuat gudeg. Padahal pasar buku adalah seluruh Indonesia. Orang Papua pasti nggak tertarik untuk baca buku tersebut.
3. Klise atau mengulang tema buku yang sudah ada.
Tema-tema yang sudah biasa, selalu kecenderungan ditolak oleh penerbit. Kecuali penulisnya punya massa yang bisa digerakkan untuk membeli bukunya. Misalnya, menulis buku tentang sholat. Well, itung aja di pasaran berapa banyak jenis buku tersebut. Biarpun penerbit yang anda tuju penerbit Islam, kalau anda bukan seorang dai yang populer, sangat kecil kemungkinan buku tersebut diterbitkan.
4. Tidak memenuhi standar penerbitan.
Masing-masing penerbit, memiliki standar (nilai) yang berbeda-beda terhadap naskah. Semakin besar dan solid penerbit, semakin tinggi pula standar penerimaan naskahnya dan prosesnya sering lebih lama. Jadi, kalau anda pemula nggak ada salahnya memulai menerbitkan dari penerbit yang kecil, yang lebih mudah dihubungi, dan biasanya lebih kekeluargaan daripada penerbit besar dengan sistem manajemen yang strick. Tapi pastikan anda mencari penerbit yang solid dan kualified.
5. Lagi nggak trend
Apa ini? Pasar buku juga tidak lepas dari trend. Bahkan, ketika satu buku begitu bestseller, akan selalu muncul pengekor-pengekor yang kurang ajar; hampir keseluruhan model produksinya dibuat sama untuk mendompleng kesuksesan buku yang diikuti. Sah-sah aja, meskipun ini termasuk hal yang bikin saya mual. Kenapa, orang nggak berpikir lebih kreatif mencipta karya?
Tulisan bagus pun, kalau lagi nggak musim dengan sukses pasti ditolak atau dipending penerbitannya. Kalau begitu nggak usah maksa. Simpan aja naskah anda dan keluarkan ketika sudah waktunya ngetrend. Yang penting naskah anda ditulis dengan kapasitas terbaik, pasti suatu saat bisa dijual.
6. Penulisan yang berantakan.
Yang jadi editor, pasti sudah sering banget nerima naskah dengan penulisan yang berantakan. Bukannya menyederhanakan tulisan sehingga mudah dibaca, tapi di sana-sini muncul berbagai gambar, ilustrasi dan pilihan huruf yang bikin ilfill.
Aduuuh, sebagus apapun naskah anda, bisa langsung ditendang. Dikembalikan tanpa dibaca karena bikin sakit mata. Tolooong.... ! Itu kenapa ada penerbit yang mencari para first reader untuk membaca naskah-naskah yang menyakitkan seperti ini.
7. Naskah telanjang.
Apa itu? Naskah yang nggak lengkap, lebih-lebih untuk nonfiksi; maksudnya nggak ada sinopsis, daftar isi, daftar pustaka, biodata, judul, dll. kelengkapan naskah. Lebih-lebih kalau penulisnya masih antah berantah dan belum dikenali oleh editor, bukan tak mungkin naskah anda langsung didepak dengan sukses.
8. Ketahuan ngejiplak atau copy paste.
Aduuuh, parah deh! Terinspirasi, mengadaptasi, mengolah kembali, dll. istilahnya adalah hal yang sah-sah aja dalam penulisan. Lebih-lebih untuk tulisan nonfiksi yang harus menyertakan sumber-sumber kutipan. Tapi kalau sampai ngejiplak, wah