Menumbuhkan Tradisi Menulis di Kalangan Siswa |
Oleh AA NURDIAMAN, S.Pd.
Menulis adalah salah satu jenis kompetensi yang dapat dipelajari dan dibutuhkan dalam banyak bidang kehidupan, sehingga sudah semestinya sekolah menumbuhkembangkan kompetensi menulis kepada peserta didiknya.
Menulis adalah kecakapan, tepatnya kecakapan berbahasa. Seseorang yang mampu membuat tulisan berarti telah menguasai tata bahasa, mengusai perbendaharaan bahasa, dan mampu menuangkan ide atau gagasan dalam bentuk tulisan. Hasil tulisan siswa mencerminkan wawasan pengetahuannya. Di sekolah, kecakapan ini harus dikuasai oleh para siswa. Sayangnya, tradisi menulis belum berkembang dengan baik di kalangan siswa.
Terdapat anggapan keliru yang berkembang, sehingga tradisi menulis belum menjadi tradisi di kalangan siswa. Pertama, menulis erat kaitannya dengan profesi jurnalistik semata. Kecakapan menulis dibutuhkan oleh hampir semua bidang kehidupan. Coba bayangkan, apa yang terjadi apabila di suatu institusi tidak ada yang mampu menuliskan konsep-konsep penting untuk kemajuan organisasi.
Kedua, menulis berkaitan dengan talenta. Faktanya, kecakapan menulis dapat dipelajari oleh setiap orang, sama halnya dengan pengetahuan yang dapat diajarkan oleh guru. Seorang penulis senior, Putu Wijaya menyatakan, faktor bakat hanya mempengaruhi sebanyak lima persen (5%). Artinya, faktor talenta tidak dominan dalam membentuk seseorang menjadi penulis. Justru faktor pembelajaranlah yang cukup berpengaruh terhadap kecapakan menulis (Masum Lasimo, 2005).
Banyak hal yang menyebabkan kurang berkembangnya tradisi menulis di kalangan siswa. Menurut Sukmana (2005), hal itu berkaitan dengan kultur, yaitu masih kuatnya tradisi lisan daripada tulisan yang disebabkan oleh: (a) Rendahnya motivasi siswa karena ketidaktahuan akan manfaat yang diperoleh dari kegiatan menulis; (b) Terbatasnya jam pelajaran mengarang, baik secara teori maupun praktik di kelas; (c) Kurangnya rujukan atau bahan pembanding dalam membuat tulisan yang dimiliki siswa; dan (d) Kurangnya apresiasi dari sekolah terhadap tulisan siswa yang dimuat di surat kabar atau majalah sebagaimana mestinya.
Sebagai kompetensi atau kecakapan hidup (life skill) yang diperlukan dalam banyak bidang kehidupan, maka sudah sewajarnya sekolah menumbuhkembangkan tradisi menulis kepada peserta didiknya. Untuk itu diperlukan kerja sama yang baik antara guru dan siswa dalam mengelola pembelajaran di kelas. Cara yang dapat ditempuh antara lain pertama, membiasakan peserta didik untuk melakukan kegiatan mengarang atau menulis melalui penugasan-penugasan pada setiap mata pelajaran, bukan hanya tugas dari mata pelajaran bahasa. Guru mata pelajaran lain dapat memberikan tugas menulis dengan memperhatikan standar kompetensi dan kompetensi dasar sesuai bidangnya, waktu luang siswa, dan frekuensi penugasan.
Kedua, melalui kegiatan ekstrakurikuler jurnalistik. Bentuknya dapat berupa penerbitan media bulletin, memberdayakan majalah dinding, atau pelatihan jurnalistik. Maksudnya agar kemampuan menulis siswa makin terasah dengan baik karena seringnya berlatih dan berkarya.
Ketiga, mendorong siswa untuk mengirimkan hasil tulisannya dalam kegiatan perlombaan mengarang atau surat kabar. Pada posisi ini, guru dapat menjadi motivator dan fasilitator yang baik bagi peserta didiknya.
Keempat, menumbuhkan budaya membaca. Ada sinyalemen bahwa rendahnya tradisi menulis erat kaitannya dengan rendahnya budaya membaca pada siswa. Padahal, tugas penting seorang penulis adalah membaca untuk memperkaya sumber inspirasi, imajinasi, membuka cakrawala, dan pikiran baru yang akan dituangkan dalam tulisannya.
Kelima, siswa diberikan pemahaman yang cukup tentang pentingnya tradisi menulis. Bahwa menulis itu dapat menunjang kelancaran aktivitas dalam banyak bidang pekerjaan. Selain itu, tradisi menulis dapat dijadikan profesi yang menjanjikan di kemudian hari.
Keenam, keteladanan atau contoh nyata dari guru. Tulisan dan artikel guru yang dimuat di media massa dapat diperlihatkan, sehingga menumbuhkan motivasi bagi para peserta didiknya.
Tanpa ada upaya nyata dari sekolah untuk menumbuhkan kebiasaan menulis, maka selamanya tradisi menulis tidak akan berkembang. Yang terpenting, harus ada pembinaan secara berkelanjutan, minat menghasilkan tulisan dan keseriusan untuk terus berlatih. Jadi, mulailah menulis, menulis, dan menulis.***
Penulis, guru PKn SMP Plus Al-Ghifari Bandung dan MTs. Negeri Rajadesa Kab. Ciamis. |