Konflik Pengelolaan Lingkungan

Arda Dinata  
Peneliti dan Anggota Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI)
 

PERUBAHAN, kompleksitas, ketidakpastian, dan konflik selalu kita hadapi dalam banyak aspek kehidupan. Menurut Bruce Mitchell (2000), keempatnya merupakan hal penting dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Sebab, keempatnya itu akan dapat mendatangkan peluang sekaligus masalah bagi perencana, pengelola, pengambil keputusan, serta anggota masyarakat lainnya.

Pernyataan Gurubesar Geografi University of Waterloo, Ontario, Canada, Bruce Mitchell tersebut, belakangan ini terbukti terjadi di wilayah Jawa Barat. Seperti diberitakan Pikiran Rakyat (08/10/2015), Pembangunan Pelabuhan Samudera Bojong Salawe yang terus berlanjut dikhawatirkan Badan Pengendali Lingkungan Hidup (BPLH)  Pangandaran. Sebab, selama ini tidak ada izin lingkungan dan tidak ada komitmen yang dipegang oleh semua pihak untuk mengatasi kerusakan lingkungan akibat pembangunan itu.

Selain itu, Kabar Priangan (10/10/2015), memberitakan warga orang terkena dampak (OTD) Waduk Jatigede merencanakan akan menggelar aksi massa. Aksi akan digelar dipicu kekesalan warga terhadap pemerintah yang selama ini tidak konsisten menangani persoalan warga Jatigede. Menurut pengakuan salah satu warga yang terkena dampak, Ki Wangsa, “Jangan disangka setelah penggenangan kemudian warga diam. Kita akan terus menuntut hak-hak kami yang belum diselesaikan.”

Sementara itu, sebelumnya Kabar Priangan (09/10/2015) juga mengkabarkan masyarakat Desa Sinartanjung Kecamatan Pataruman meminta pemerintah bersikap tegas terhadap para penambang pasir ilegal di sungai Citanduy. Pasalnya aktifitas penambangan pasir ilegal itu telah menyebabkan lahan milik warga di pinggiran sungai itu atau tepatnya di sekitar Dusun Sinargalih “menghilang” akibat amblas dan tergerus air sungai. Warga mengaku sudah habis kesabaran dengan para penambang pasir tersebut.

Fenomena tersebut merupakan sebagian gambaran dari pengelolaan lingkungan yang terjadi di wilayah Priangan. Untuk itu, sangatlah penting kita mengenali dari keempat elemen pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan tersebut (perubahan, kompleksitas, ketidakpastian, konflik) dan memahami bagaimana keempatnya saling berpengaruh, sehingga memiliki peluang bagaimana kita dapat menjadi agen perubahan yang positif.

Pertama, perubahan. Elemen ini mengajarkan bahwa perencana dan pengelola lingkungan harus selalu siap menghadapi perubahan. Baik perubahan lingkungan itu sendiri, maupun perubahan sistem sosial, ekonomi, dan politik yang sering mewarnai proses pengambilan keputusan. Terkait proses pemberhentian sementara proyek Pelabuhan Samudera Bojong Salawe, diakui Kepala Subbidang Pengkajian Analisis Dampak dan Teknik Lingkungan BPLH Pangandaran, Rahlan Herman bahwa secara kasat mata proses pembangunan itu tentu mengubah ekosistem yang ada. Saat ini pun telah terlihat beberapa tanaman mangrove yang berubah. Oleh karena itu, ia meminta komitmen semua pihak untuk menjaga lingkungan melalui penyelesaian dokumen lingkungan.

Kedua, kompleksitas. Di sini, harus kita akui kalau dampak kegiatan manusia terhadap lingkungan memang sesuatu yang sangat kompleks dan tidak selalu dapat dipahami secara utuh. Artinya, bagi perencana dan pengelola lingkungan harus memahami kalau perubahan lingkungan itu tidak semuanya dapat diprediksi sebelumnya. Demikian pula dengan dampak perubahan pembangunan waduk Jadigede di Sumedang. Sebagian aspek dapat diprediksikan, tapi sebagian lainnya sama sekali belum dapat dibayangkan apa implikasi susulan dari perubahan tersebut.

Ketiga, ketidakpastian. Keberadaan elemen ini, bagi perencana dan pengambil keputusan harus dipahami betul. Sebab, lingkungan itu dipenuhi ketidakpastian. Artinya, mereka harus berani mengambil keputusan ketika tidak semua informasi dan pemahaman dapat diperoleh secara utuh. Sehingga di sini, perlu sikap kehati-hatian, agar proses pengambilan keputusannya tidak dilakukan secara gegabah.

Keempat, konflik. Adanya perbedaan dan pertentangan kepentingan seringkali muncul dalam pengalokasian sumberdaya dan pengambilan keputusan pengelolaan lingkungan. Menurut Bruce Mitchell, pertentangan tersebut seringkali merefleksikan perbedaan pandangan, ideologi, dan harapan. Untuk itu, adalah tantangan bagi para pengelola lingkungan untuk dapat mengakomodasikan berbagai perbedaan tersebut serta mencari jalan tengah yang dapat diterima semua pihak. 

Akar konflik lingkungan
Tidak bisa dipungkiri, bila berbicara pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam akan dibutuhkan kemampuan untuk menghadapi konflik. Keberadaan konflik ini, akan menghantui kehidupan manusia. Hal ini sesuai dengan pengakuan Johnson dan Duinker (1993), konflik adalah pertentangan antar banyak kepentingan, nilai, tindakan atau arah, serta sudah merupakan bagian yang menyatu sejak kehidupan ada.

Pada konteks ini, Dorcey (1986), mengakui pada banyak situasi, terdapat lebih dari satu akar konflik yang muncul. Namun demikian, Dorcey merumuskan ada empat dasar atau akar konflik, yaitu: 1) Perbedaan pengetahuan dan pemahaman; 2) Perbedaan nilai; 3) Perbedaan alokasi keuntungan dan kerugian; 4) Perbedaan karena latar belakang personal dan sejarah kelompok-kelompok yang berkepentingan.

Walau keberadaan konflik itu merupakan sesuatu yang tak terelakkan dalam kehidupan manusia, akan tetapi konflik itu tidaklah selalu berkonotasi kurang baik. Konflik itu bisa bermakna positif atau negatif tergantung persepsi manusianya. Di sini, patut dicatat, kalau konflik itu dalam banyak hal dapat membantu kita dalam mengindentifikasi permasalahan bila suatu proses mengalamai jalan buntu. Arti lainnya, aspek positif konflik muncul ketika konflik membantu mengindentifikasikan sebuah proses pengelolaan lingkungan dan sumberdaya yang tidak berjalan secara efektif, mempertajam gagasan yang tidak jelas, dan menjelaskan kesalahpahaman.

Sebaliknya, konflik dapat bersifat negatif jika diabaikan. Dalam bahasa Johnson dan Duinker, konflik yang tidak terselesaikan merupakan sumber kesalahpahaman, ketidakpercayaan, serta bias. Konflik menjadi buruk apabila menyebabkan semakin meluasnya hambatan-hambatan untuk saling bekerjasama antar berbagai pihak.

Akhirnya, adanya beberapa konflik dalam pengelolaan lingkungan yang terjadi di wilayah Priangan, tentu harus disikapi sebagai tantangan yang menjadi tugas kita untuk mencoba memahami bahwa konflik itu hendaknya dianggap sebagai suatu faktor yang konstruktif, bukannya destruktif, di dalam perencanaan dan pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.***
BACA ARTIKEL LAINNYA:

Arda Dinata

Arda Dinata is a writer for various online media, lives in Pangandaran - West Java. www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education | | Source for Sharing Inspiration, Knowledge and Motivation for Success | World of Business, Business, Boss, Rich, Money, Dollars and Success |

Lebih baru Lebih lama