SAMPAH siaga satu! TPA Purbahayu kritis. Itulah judul bombastis Kabar Priangan (14/9/2013), yang harusnya menyadarkan kita agar tidak main-main dalam membangun TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Sampah. Tepatnya, TPA Sampah di Purbahayu mulai disesaki tumpukan sampah. Bahkan tumpukan tersebut nyaris menggunung sehingga menimbulkan bau tidak sedap. Kondisi itu diperparah dengan masuknya musim kemarau, sehingga populasi lalat mulai menambah deretan persoalan sampah. Inilah pekerjaan rumah bagi Pemerintah Kab. Pangandaran yang harus dicari jalan keluarnya dalam pengelolaan sampah.
Sampah (solid wastes) adalah benda tidak dipakai, tidak diingini dan dibuang, yang berasal dari suatu aktivitas dan bersifat padat. Bila kita amati secara seksama, sampah yang diproduksi manusia dalam berbagai aktivitas terdiri dari sampah kering (anorganik) dan sampah basah (organik). Sampah kering diantaranya terdiri dari barang logam, kaca, dan kertas plastik. Golongan sampah ini, banyak dijadikan barang komoditi lewat daur ulang oleh para pemulung, sehingga sedikit banyak mengurangi beban penanganan sampah lebih lanjut.
Adapun bagi sampah basah yang banyak diproduksi rumah tangga, pasar-pasar tradisional terutama berasal dari sisa sayur mayur, hingga saat ini masih tetap menjadi problem yang belum bisa dipecahkan langsung di lokasi.
Berkait dengan masalah sampah ini, kita harus mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi sampah di suatu kota atau daerah. Menurut buku Pembuangan Sampah (Depkes: 1987), ada tujuh faktor yang mempengaruhi produksi sampah, yaitu:
1) Jumlah penduduk dan kepadatannya. Setiap pertambahan penduduk akan diikuti oleh kenaikan jumlah sampah, demikian juga daerah perkotaan yang padat penduduknya memerlukan pengelolaan sampah yang baik.
2) Tingkat aktivitas. Dengan makin banyaknya kegiatan/aktivitas, maka akan berpengaruh pada jumlah sampah.
3) Pola kehidupan/tingkat sosial ekonomi. Banyak sedikitnya barang yang dikonsumsi oleh manusia, juga berpengaruh pada jumlah sampah.
4) Letak geografi. Daerah pegunungan, daerah pertanian, akan menentukan jumlah sampah yang dihasilkan.
5) Iklim. Iklim tropis, sub tropis juga berperan ikut mempengaruhi jumlah sampah.
6) Musim. Yakni musim gugur, musim semi, musim buah-buahan akan mempengaruhi jumlah sampah yang dihasilkan.
7) Kemajuan teknologi. Pembungkus plastik, daun, perkembangan kemesan makanan dan obat, akan mempengaruhi jumlah sampah yang dihasilkan.
Dengan megetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi sampah di atas, setidaknya kita dalam melakukan pengelolaan sampah dapat memperhitungkan kapan kira-kira produksi sampah itu meningkat, kapan waktu banyaknya gangguan pada proses pengangkutan serta teknik kerja operasional dan prasarana apa yang tepat digunakan.
Pengelolaan Sampah
Pengelolaan sampah diartikan sebagai suatu bidang yang berhubungan dengan pengaturan terhadap penimbulan, penyimpanan, pengumpulan, pemindahan dan pengangkutan, pemrosesan dan pembuangan sampah dengan suatu cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip terbaik dari kesehatan masyarakat, ekonomi, keahlian teknik, perlindungan alam, keindahan (estetis), pertimbangan-pertimbangan lingkungan, dan mempertimbangkan sikap masyarakat (Tchohanoglous, et.al; 1977).
Secara demikian, ruang lingkup dari pengelolaan sampah yang terlibat dalam pemecahan masalah sampah yang menimpa masyarakat adalah termasuk fungsi-fungsi administrasi, finansial, hukum, perencanaan dan teknik pembangunan perkotaan. Dalam hal ini, pemecahannya diperlukan kontribusi dari berbagai disiplin ilmu seperti politik, perencanaan kota dan daerah, geografi, ekonomi, kesehatan masyarakat, sosiologi, demografi, komunikasi, perlindungan alam, dan lainnya.
Untuk mencapai jalan penyelesaian permasalahan pengelolaan sampah yang kompleks tersebut, maka kita harus mengetahui beberapa unsur yang utama dalam pengelolaan sampah, yaitu tahap penimbulan sampah, penyimpanan (sementara), pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pemanfaatan kembali, serta tahap pembuangan akhir sampah.
Dengan memahami keenam elemen fungsional secara terpisah diharapkan untuk: 1. Mengenal segi-segi fundamental dan kaitan-kaitan masing-masing elemen. 2. Mengembangkan, bila mungkin dapat mengukur hubungan-hubungan tersebut yang berfungsi untuk tujuan-tujuan pembuatan perbandingan teknik, analisa dan evaluasi. Dalam arti lain, pemisahan elemen tersebut penting untuk membantu dalam pengembangan, kerangka kerja, termasuk didalamnya untuk mengevaluasi pengaruh-pengaruh yang timbul dari perubahan-perubahan yang diusulkan. 3. Memecahkan masalah yang khusus. Misalnya cara pengumpulan sampah, khususnya sampah hasil buangan industri kimia, cara pengangkutan dan pemusnahannya.
Berkait dengan keenam elemen fungsional tersebut, sistem pengelolaan sampah di kota-kota besar Indonesia pada umumnya baru menerapkan empat elemen, yaitu: penimbulan sampah, penyimpanan sementara, pengumpulan/pengangkutan dan pembuangan sampah. Sedangkan elemen pengolahan dan pemanfaatan kembali dari sampah yang dihasilkan belum dimanfaatkan secara maksimal dan profesional.
Padahal kalau saja elemen pengolahan dan pemanfaatan kembali dari sampah dilakukan secara profesional, maka setidaknya Bidang Ciptakarya Dinas PU, Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kab. Pangandaran sebagai pengelola sampah tersebut dapat menghasilkan komoditi daur ulang yang akhirnya mendapatkan penghasilan buat kelancaran kerja operasional dan kesejahteraan karyawannya.
TPA Sampah Sanitair
Suatu program pengelolaan sampah belum bisa dikatakan berhasil dengan baik, tanpa menyelesaikan hingga tahap disposalnya (pembungan akhir) dengan baik. Berkait dengan tahap pembungan akhir (refuse disposal) ini, sebelum kita menetapkan suatu tempat yang akan dijadikan sebagai TPA Sampah, maka terlebih dahulu kita perlu melakukan studi pendahuluan.
Adanya studi pendahuluan tersebut, dimaksudkan untuk mempertimbangkan sejumlah aspek.
Pertama, aspek kesehatan dan estetika. Dalam hal ini dimaksudkan, misalnya sampah harus dihindarkan (tidak expose) dari kemungkinan bersarang/ berkembang biak, bagi vektor penyakit, binatang pengganggu maupun jamahan para pemulung dalam sampah yang ditampung.
Kedua, harus ditentukan pula sistem dan metode pengelolaan sampah yang digunakan. Dari studi ini didapat sistem dan metode pengelolaan sampah mana yang tepat dilakukan dan dikembangkan.
Ketiga, penggunaan tenaga mekanisasi. Dalam hal ini, mekanisasi yang dimaksud tidak lain metode yang menggunakan tenaga secara intensif harus diterapkan, jika penggunaan mesin tidak dapat mengurangi pembiayaan total, atau bila dipandang penting untuk perlindungan kesehatan..
Keempat, menentukan produktivitas dari pengelolaan sampah. Produktivitas tinggi akan dapat dicapai dengan metode dan studi kelayakan waktu secara prioritas diberikan pada sesuatu komponen yang memiliki produktifitas tinggi.
Sementara itu, menyangkut metode pembuangan sampah yang sesuai dengan kesehatan, terdapat empat sistem pembuangan, yaitu:
1. Ginding system. Yakni suatu metode pembuangan sampah, khususnya sampah basah (garbage) yang berasal dari sisa makanan dari dapur-dapur perumahan ataupun restoran dengan cara menghancurkannya lebih dahulu. Kemudian, dibuang ke selokan pembuangan air kotor untuk mengalami pemecahan atau pembusukan dalam instalasi pembuangan air kotor.
2. Composting. Yaitu pemecahan bahan-bahan organik dari sampah secara biokimia, yang memproduksi hasil akhir bahan-bahan menyerupai humus dan digunakan untuk mengatur kondisi tanah pertanian (soil conditioning). Composting ini juga belum merupakan cara pembuangan sampah secara tuntas, karena dari proses ini diperlukan proses-proses pemilihan bahan sebelumnya. Bahan-bahan yang tidak digunakan sebagai bahan kompos harus dibuang.
3. Incineration. Incineration merupakan cara pembuangan sampah yang digunakan paling extensif di Amerika Serikat. Teknik pembakaran sampah ini telah dicoba dalam suatu proyek percontohan dengan alat the Combustion Power Unit 400 yang dapat membakar sampah sekaligus membangkitkan tenaga listrik. Keistimewaan alat ini adalah dilengkapi dengan peralatan yang bisa menghindari terjadinya polusi udara akibat pembakaran sampah seperti partikel-partikel debu, gas-gas yang bersifat korosif terhadap logam.
4. Sanitary landfill. Yakni suatu cara pembuangan sampah yang merupakan final disposal yang sesungguhnya, tanpa adanya pengolahan/penanganan sebelumnya terhadap sampah yang akan dibuang. Oleh karena itu, ada pertimbangan-pertimbangan lain yang bernada merugikan dengan cara ini yaitu banyaknya bahan-bahan yang mempunyai potensial untuk digunakan kembali tertanam begitu saja. Tapi, hal ini dapat dihindari seandainya dari awal para penimbun sampah telah memisahkan antara sampah yang bisa di daur ulang (secara langsung) dengan sampah yang tidak bisa dimanfaatkan kembali secara ekonomis.
Namun demikian, cara ini merupakan cara yang paling mudah dan murah dibanding dengan cara-cara sebelumnya. Pada prinsipnya sanitary landfill adalah suatu cara pembuangan sampah ke tempat-tempat rendah dan ditutup dengan tanah (dengan syarat teknis tertentu) untuk memenuhi persyaratan sanitasi. Misalnya, menghindari adanya lalat dan tempat berkembangbiak binatang pengganggu serta menghindari bau dari tumpukan sampah.
Akhirnya, sudahkah pola pemikiran tersebut telah dilakukan Pemda Kab. Pangandaran dalam pemilihan lokasi TPA Sampah, termasuk masalah metode yang digunakan?***
Arda Dinata,
Aktif di Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI)
Aktif di Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI)