Oleh Arda Dinata
Dalam tarikh Islam, ada kisah yang menarik direnungi berkait dengan arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Dikisahkan, sebelum terjadi perang qadisiyah, Ruba’i bin Amir, salah seorang prajurit muslim yang dikirim untuk menghadap Panglima Rustum, yang memimpin pasukan Persia kala itu.
Pada waktu, Ruba’i masuk ke perkemahan Panglima Rustum, ia dapatkan semua pembesarnya berpakaian kenegaraan, sedangkan majelisnya dihiasi dengan permadani dan sutra yang serba mahal. Panglima Rustum duduk di singgasana emas dan bermahkotakan emas yang dihiasi dengan batu permata yang serba mahal.
Sementara itu, Ruba’i bin Amir hanya berpakaian sederhana sekali. Dengan menyandang perisai dan menunggang kuda, ia masuk ke dalam perkemahan itu tanpa menghiraukan sedikit pun keadaan sekelilingnya. Ia masuk terus ke dalam dengan tetap menunggang kudanya dan membiarkannya kaki kuda itu mengotori hamparan permandani yang serba mahal itu. Lalu, Ruba’i turun dari kudanya dan ia tambatkan pada salah satu bantal yang ada di dekatnya. Dan dengan segera ia menghadap Panglima Rustum dengan tetap menyandang senjata dan perisainya.
Melihat itu, para pembesar itu segera berseru, “Letakan senjata itu!”
Ruba’i menjawab, ”Aku datang kemari tidak lain hanyalah atas undangan kalian. Jika kalian senang biarkan aku dalam keadaanku, seperti ini, atau kalau tidak aku akan pulang”.
“Biarkan ia menghadap!” kata Panglima Rustum.
Akhirnya, Ruba’i menghadap Panglima Rustum, dengan tombaknya masuk hamparan permandani. Dan seketika itu pula hamparan itu koyak-koyak. Mereka bertanya, “Apakah yang mendorongmu masuk daerah kami?”
“Allah SWT telah mengutus kami untuk membebaskan manusia dari memperhambakan diri kepada selain Allah, dan melepaskan belenggu duniawi menuju dunia bebas, dan dari agama yang sesat menuju keadilan Islam”.
Dari dialog Ruba’i bin Amir di atas, sesungguhnya telah mengajarkan kita akan arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Artinya kemerdekaan Indonesia itu harus kita maknai sebagai aplikasi dari tauhid kemerdekaan manusia. Di mana, setiap manusia itu sesungguhnya telah dimerdekakan dari penghambaan pada materi, penghambaan kepada hawa nafsu dan hal-hal duniawi untuk diantarkan kepada penghambaan total kepada Allah semata-mata. Inilah arti kemerdekaan yang Islam ajarkan.
Allah berfirman dalam QS. Al-An’aam: 162-163, yang artinya: “Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”.
Jadi, seluruh rakyat Indonesia sudah saatnya untuk menerapkan arti kemerdekaan itu secara tepat. Bukankah, seseorang (bangsa) baru dikatakan merdeka ketika ia mampu melepaskan dirinya dari segala perbudakan dan segera untuk suka cita menghamba kepada Allah SWT. Wallahu a’lam.
Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.
http://www.miqra.blogspot.com
Dalam tarikh Islam, ada kisah yang menarik direnungi berkait dengan arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Dikisahkan, sebelum terjadi perang qadisiyah, Ruba’i bin Amir, salah seorang prajurit muslim yang dikirim untuk menghadap Panglima Rustum, yang memimpin pasukan Persia kala itu.
Pada waktu, Ruba’i masuk ke perkemahan Panglima Rustum, ia dapatkan semua pembesarnya berpakaian kenegaraan, sedangkan majelisnya dihiasi dengan permadani dan sutra yang serba mahal. Panglima Rustum duduk di singgasana emas dan bermahkotakan emas yang dihiasi dengan batu permata yang serba mahal.
Sementara itu, Ruba’i bin Amir hanya berpakaian sederhana sekali. Dengan menyandang perisai dan menunggang kuda, ia masuk ke dalam perkemahan itu tanpa menghiraukan sedikit pun keadaan sekelilingnya. Ia masuk terus ke dalam dengan tetap menunggang kudanya dan membiarkannya kaki kuda itu mengotori hamparan permandani yang serba mahal itu. Lalu, Ruba’i turun dari kudanya dan ia tambatkan pada salah satu bantal yang ada di dekatnya. Dan dengan segera ia menghadap Panglima Rustum dengan tetap menyandang senjata dan perisainya.
Melihat itu, para pembesar itu segera berseru, “Letakan senjata itu!”
Ruba’i menjawab, ”Aku datang kemari tidak lain hanyalah atas undangan kalian. Jika kalian senang biarkan aku dalam keadaanku, seperti ini, atau kalau tidak aku akan pulang”.
“Biarkan ia menghadap!” kata Panglima Rustum.
Akhirnya, Ruba’i menghadap Panglima Rustum, dengan tombaknya masuk hamparan permandani. Dan seketika itu pula hamparan itu koyak-koyak. Mereka bertanya, “Apakah yang mendorongmu masuk daerah kami?”
“Allah SWT telah mengutus kami untuk membebaskan manusia dari memperhambakan diri kepada selain Allah, dan melepaskan belenggu duniawi menuju dunia bebas, dan dari agama yang sesat menuju keadilan Islam”.
Dari dialog Ruba’i bin Amir di atas, sesungguhnya telah mengajarkan kita akan arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Artinya kemerdekaan Indonesia itu harus kita maknai sebagai aplikasi dari tauhid kemerdekaan manusia. Di mana, setiap manusia itu sesungguhnya telah dimerdekakan dari penghambaan pada materi, penghambaan kepada hawa nafsu dan hal-hal duniawi untuk diantarkan kepada penghambaan total kepada Allah semata-mata. Inilah arti kemerdekaan yang Islam ajarkan.
Allah berfirman dalam QS. Al-An’aam: 162-163, yang artinya: “Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”.
Jadi, seluruh rakyat Indonesia sudah saatnya untuk menerapkan arti kemerdekaan itu secara tepat. Bukankah, seseorang (bangsa) baru dikatakan merdeka ketika ia mampu melepaskan dirinya dari segala perbudakan dan segera untuk suka cita menghamba kepada Allah SWT. Wallahu a’lam.
Penulis Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.
http://www.miqra.blogspot.com