Oleh: Arda Dinata
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, hingga lisannya fasih. Kedua orangtuanya-lah yang membuatnya beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Al-Baihaqi, Ath-Thabarani).BERKENAAN dengan mendidik anak. Berikut ini ada kisah yang menarik dan perlu kita renungi sebagai bahan introspeksi diri terkait dengan pola pendidikan anak-anak yang dilakukan oleh orangtua dan pendidik selama ini.
Ibnu Khaldun menceritakan, ketika Al Rasyid menyerahkan anaknya, Al-Amin kepada seorang guru, ia mengatakan, “Wahai Ahmar, sesungguhnya Amirul Mukminin telah menyerahkan kepadamu belaihan jiwa dan buah hatinya. Maka, bukalah tanganmu lebar-lebar dan ketaatanmu kepadanya adalah kewajiban. Tetaplah kamu bersamanya sebagaimana kamu kepada Amirul Mukminin. Bacakanlah kepadanya Alquran dan ajarkanlah kepadanya hadis-hadis. Riwayatkanlah kepadanya syair-syair dan ajarkanlah kepadanya sunah. Perlihatkanlah kepadanya fenomena-fenomena dan dasar-dasar ilmu kalam. Laranglah dirinya tertawa bukan pada waktunya. Janganlah ia bertemu denganmu sesaat saja keculai kamu menyampaikan kepadanya pelajaran-pelajaran yang dapat diambilnya, dengan tidak menyembunyikannya sehingga pikirannya menjadi mati. Janganlah kamu biarkan dirinya berleha-leha, sehingga ia suka nganggur dan bersenang-senang. Luruskanlah dirinya sesuai kemampuanmu dengan pendekatan yang lembut. Jika ia menolaknya maka lakukanlah dengan kekerasan.”
Keterangan di atas, merupakan pelajaran bagi orangtua dan pendidik dalam proses pendidikan anak-anak mereka. Sesungguhnya anak kecil itu merupakan amanat bagi setiap orangtuanya. Hatinya masih suci bersih dan kosong. Jika dibiasakan dan diajari kebajikan, ia akan tumbuh pada kebajikan dan berbahagia di dunia maupun di akhirat. Nabi SAW bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, hingga lisannya fasih. Kedua orangtuanyalah yang membuatnya beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Al-Baihaqi, Ath-Thabarani).
Kesuksesan dalam mendidik anak, paling tidak akan ditentukan oleh ketiga kekuatan yaitu orangtua, pendidik di sekolah dan tatanan lingkungan masyarakatnya. Di sini, kelihatannya peran yang menentukan dan strategis dalam periode awal kehidupan seorang anak ialah pola didik dan asuhan dari kedua orangtuanya (baca: ibu dan bapak) di rumah.
Unsur penting
Dalam mendidik anak sesuai moral Islam, menurut Syaikh M. Jamaluddin Mahfuzh (2003), ada beberapa unsur yang perlu diperhatikan.
Pertama, menanamkan akidah yang sehat. Bersumber dari Rafi r.a., ia berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW menyerukan adzan shalat ke telinga Hasan bin Ali r.a., ketika ia baru saja dilahirkan oleh Fatimah.” (HR. At-Tirmidzi).
Kedua, latihan ibadah dan beri hukuman. Bersumber dari Abdullah bin Umar r.a., sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat ketika mereka telah berusia tujuh tahun. dan pukullah mereka, karena meninggalkan shalat ketika mereka telah berusia dua belas tahun. Dan pisahkanlah mereka pada tempat tidur.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Al-Hakim).
Ketiga, mengajarkan kepada anak sesuatu yang halal dan haram. Bersumber dari Abdullah bin Zaid r.a., ia berkata, “Kami sedang berada di dekat Abdullah bin Masud r.a., ketika mendadak seorang puteranya datang menghampirinya dengan mengenakan baju dari sutera. Abdullah bin Masud bertanya, ‘Siapa yang memakaikan pakaian ini kepadamu?’ Anak itu menjawab, ‘Ibuku.’ Abdullah bin Masud lalu menanggalkannya seraya berkata, ‘Katakan pada ibumu supaya ia memakai pakaian yang selain ini.’”
Keempat, membangun aktivitas belajar. Rasulullah SAW bersabda, “Hak anak atas ayahnya ialah diajari menulis, berenang dan memberinya rezeki dari yang halal saja.” (HR. Al-Baihaqi).
Kelima, membangun persahabatan orangtua terhadap anak. Rasulullah SAW bersabda, “Perhatikanlah anak-anakmu, dan didiklah mereka dengan baik.” (HR. Ibnu Majah). Hadis ini mengajarkan agar orangtua untuk selalu bersahabat dengan anak, mengawasi, memperhatikan, dan mendidik mereka sebaik mungkin. Rasulullah memberi petunjuk dalam sabdanya, “Barangsiapa punya anak kecil hendaklah ia perlakukan secara proposional.” (HR. Ibnu Askair).
Keenam, membiasakan meminta izin. Ishak Al-Ghazari berkata, “Aku pernah bertanya kepada Al-Auza’i, apa batasan anak kecil yang diharuskan minta izin terlebih dahulu?” Ia menjawab, “Kalau ia sudah berumur empat tahun. pada usia ini, ia tidak boleh menemui wanita tanpa izin terlebih dahulu.” Dan menurut Az-Zuhri, “Seseorang yang menemui ibunya harus minta izin terlebih dahulu.”
Akhirnya, diharapkan melalui pola-pola tersebut, maka ketika anak telah tumbuh menjadi seorang pemuda dan dapat memahami urusan kehidupan, ia telah mengetahui apa saja yang diharamkan dan apa saja yang dihalalkan. Lebih jauh lagi, ia diharapkan mampu menerapkan tingkah laku islami sebagai akhlak dan kebiasaan hidup, serta tidak diperbudak syahwat dan tenggelam dalam gaya hidup hedonis. Wallahu a’lam.
Salam sukses selalu…..dan bagaimana menurut pendapat Anda?***
Arda Dinata adalah Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.
ILMU MENJADI KAYA
Berpikir Lama? Orang Lain Yang Akan Mendahului Kesuksesan Anda! Ayo Segera Miliki ILMU MENJADI KAYA ini.
RAHASIA JADI JUTAWAN
Mau Jadi Penulis BestSeller + Income Jutaan? Ayo Gabung di Penulis Sukses yuk!
INSPIRASI SUKSES
Ubah Nasib Anda Sekarang Menjadi Pribadi SUKSES dan TANGGUH dengan Cara Gabung Bersama GROUP MIQRA INDONESIA
Berpikir Lama? Orang Lain Yang Akan Mendahului Kesuksesan Anda! Ayo Segera Miliki ILMU MENJADI KAYA ini.
RAHASIA JADI JUTAWAN
Mau Jadi Penulis BestSeller + Income Jutaan? Ayo Gabung di Penulis Sukses yuk!
INSPIRASI SUKSES
Ubah Nasib Anda Sekarang Menjadi Pribadi SUKSES dan TANGGUH dengan Cara Gabung Bersama GROUP MIQRA INDONESIA