"AI bisa menulis seribu buku dalam semenit, tapi butuh seorang manusia untuk menulis satu kalimat yang membuat kita menangis.". (Sumber foto: Arda Dinata).
Oleh: Arda Dinata
PRO BLOG MENULIS - "Dulu penulis takut kehabisan tinta, kini mereka takut kehabisan token. Ironisnya, semakin banyak kata yang dihasilkan, semakin sedikit yang benar-benar perlu dibaca."
Bayangkan sebuah panggung teater. Lampu sorot menyala terang. Aktor utamanya adalah seorang penulis—seorang manusia—sedang menari bersama robot berbentuk pena raksasa. Kadang si penulis memimpin, kadang si pena yang memegang kendali.
Indah sekali tariannya. Menawan.
Atau mengerikan?
Begitulah hubungan penulis dengan kecerdasan buatan saat ini. Seperti tarian pasangan yang canggung, kadang harmonis, kadang menginjak kaki satu sama lain.
Saya tertawa sendiri membayangkan Ernest Hemingway atau Pramoedya Ananta Toer diminta berkolaborasi dengan ChatGPT. Apa jadinya "Lelaki Tua dan Laut" atau "Bumi Manusia" jika ditulis dengan bantuan AI?
Mungkin lebih efisien. Mungkin lebih "sempurna" secara teknis. Tapi apakah masih punya jiwa?
Seperti dalam lakon wayang kulit, kita kini dihadapkan pada pertarungan antara Karna (kreativitas murni manusia) dan Arjuna (efisiensi AI). Keduanya punya kelebihan. Keduanya punya kelemahan.
Menurut survei dari Asosiasi Penulis Indonesia tahun 2023, 57% penulis tanah air telah menggunakan AI untuk membantu proses kreatif mereka. Dari riset pos, memeriksa tata bahasa, hingga mengembangkan alur cerita.
Sementara 43% lainnya masih bertahan dengan cara lama. Mengandalkan otak manusia dan secangkir kopi panas.
Saya sendiri? Saya ada di tengah-tengah. Kadang memanfaatkan AI, kadang memilih menulis dengan cara konvensional. Tergantung suasana hati dan tenggat waktu.
Mirip seperti dalam opera sabun, di mana tokoh utama selalu bimbang antara dua pilihan.
"Pakai AI atau tidak ya?"
"Kalau pakai, apakah saya masih bisa disebut penulis sejati?"
"Kalau tidak pakai, apakah saya tertinggal zaman?"
Drama kehidupan seorang penulis di era digital.
Jurnal Scientific Writing Today melaporkan bahwa tulisan yang dihasilkan dengan bantuan AI cenderung 30% lebih konsisten dalam gaya bahasa, namun 40% kurang memiliki kedalaman emosional dan nuansa budaya lokal.
Seperti film Hollywood yang diproduksi dengan formula. Sempurna secara teknis, tapi kadang terasa hambar.
Dulu, ketika saya masih menjadi wartawan muda, mentor saya selalu berkata: "Tulisan yang baik adalah tulisan yang membuat pembaca merasakan sesuatu." Entah itu marah, sedih, bahagia, atau bahkan bingung.
Apakah AI bisa membuat pembaca merasakan sesuatu? Tentu bisa. Tapi sesuatu itu apa?
Dalam sirkus kehidupan literasi modern, AI adalah pemain trapeze yang bisa melakukan gerakan-gerakan menakjubkan. Tapi kadang, justru badut sederhana yang bisa membuat penonton tertawa atau menangis.
Saya masih ingat, tahun 2010, saat pertama kali tulisan saya dimuat di koran nasional. Saya merevisi draft itu belasan kali. Mencoret, menulis ulang, mencoret lagi, menulis ulang lagi.
Proses yang menyakitkan. Tapi juga membahagiakan.
Kini, dengan AI, saya bisa mendapatkan draft pertama dalam hitungan detik. Tinggal masukkan prompt, dan voila! Sebuah tulisan 1.000 kata muncul di layar komputer.
Efisien? Sangat.
Memuaskan? Tidak selalu.
Berdasarkan studi dari Lembaga Bahasa Internasional, tulisan yang sepenuhnya dibuat oleh AI memiliki pola tertentu yang bisa dideteksi oleh pembaca berpengalaman. Semacam "uncanny valley" dalam dunia literasi.
Ada sesuatu yang "off". Sesuatu yang terlalu sempurna hingga terasa tidak manusiawi.
Seperti dalam telenovela, di mana semua masalah bisa diselesaikan dalam satu episode. Terlalu mudah. Terlalu rapi. Tidak seperti kehidupan nyata yang berantakan dan penuh kejutan.
Lalu, bagaimana seharusnya penulis modern memanfaatkan AI?
Jawabannya: dengan bijak. Gunakan AI sebagai asisten, bukan pengganti. Sebagai alat, bukan tuan.
Seorang penulis sejati tahu kapan harus mendengarkan saran AI dan kapan harus mengabaikannya. Kapan harus menggunakan efisiensi teknologi dan kapan harus mengandalkan ketidaksempurnaan manusiawi.
Mirip seperti sutradara film yang tahu kapan menggunakan CGI dan kapan menggunakan akting murni untuk menghasilkan emosi yang lebih otentik.
Mungkin masa depan penulisan adalah kolaborasi harmonis antara kreativitas manusia dan efisiensi AI. Bukan kompetisi. Bukan penggantian.
Tapi apakah kita, para penulis, siap untuk masa depan itu?
Atau jangan-jangan, saat Anda membaca tulisan ini, Anda bertanya-tanya: "Apakah ini ditulis oleh manusia atau oleh AI?"
Dan itulah pertanyaan yang seharusnya mengganggu kita semua. Bukan hanya penulis, tapi juga pembaca.
Karena pada akhirnya, kita semua bertanggung jawab atas masa depan literasi. Kita semua punya peran dalam menentukan nilai dari sebuah tulisan.
Apakah kita akan menghargai efisiensi di atas keotentikan? Kesempurnaan di atas kemanusiaan? Atau sebaliknya?
Pilihan ada di tangan kita. Manusia. Bukan di algoritma.
"AI bisa menulis seribu buku dalam semenit, tapi butuh seorang manusia untuk menulis satu kalimat yang membuat kita menangis."
Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.
***
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah artikel ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info artikel terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online, Sehari-hari Bekerja Sebagai Sanitarian Ahli & Penanggung Jawab Laboratorium Kesehatan Lingkungan, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.