Oleh: Arda Dinata
Kalau kita perhatikan dari beberapa kasus kebakaran yang terjadi selama ini, ternyata faktor yang sering menjadi penyebabnya adalah akibat hubungan pendek arus listrik dan akibat kompor meledak (baca: kompor minyak). Seperti kita ketahui, sebagian masyarakat perkotaan masih menggantungkan sumber api dapurnya pada kompor minyak yang mempunyai tingkat keamanan belum pernah teruji. Dan di pasaran dapat kita temukan jenis kompor minyak dari berharga murah hingga yang cukup mahal. Keunggulan kompor minyak ini di samping murah, juga dapat dibilang hemat (karena bahan bakar ini masih disubsidi pemerintah), cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari dan mudah dipakai. Namun, bahayanya adalah bersifat polusi dan mudah meletup.
Menurut Dr. Sony Heru (1997), kompor minyak mudah meledak karena sewaktu menyala, panas yang dihasilkan akan tersebar ke lingkungan di mana kompor itu berada. Bahan baku yang digunakan untuk membuat kompor tersebut tidak cukup mampu meredam panas yang dihasilkan oleh api kompor itu sendiri. Akibat panas yang ditimbulkannya adalah bahwa sebagian minyak tanah yang tersimpan di dalam tangki kompor akan ikut memanas dan menguap. Uap minyak yang hangat ini mudah disambar api dan menyebabkan adanya letupan. Keadaan ini persis dengan apa yang terjadi pada mercon bumbung (terbuat dari bambu) berbahan bakar minyak yang kita mainkan pada malam-malam di bulan puasa.
Sementara itu, penyebab kebakaran yang diakibatkan oleh adanya hubungan pendek arus listrik, biasanya dikarenakan banyak masyarakat yang merasa mampu untuk menjadi instalatir listrik, sehingga bisa seenaknya memasang instalasi atau peralatan listrik di rumah/ gedung. Hal ini menjadi lebih berbahaya karena kualitas kabel yang digunakan dapat bervariasi dan disambung seenaknya. Masalahnya, jika daya yang diperlukan ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan alat/ cara penyambungan yang ceroboh, akan dapat menimbulkan panas dan melelehkan pembungkus kabel yang tidak sesuai kapasitasnya. Selanjutnya dapat ditebak, bahwa titik api akan muncul ketika panas ini bersentuhan dengan barang-brang yang mudah terbakar. Inilah salah satu tindakan tidak disiplin masyarakat yang menghantarkan terjadinya kebakaran tersebut.
Walau demikian, menurut Gatot Soedharto (1984) sebab-sebab kebakaran pada umumnya dibagi menjadi empat bagian. Pertama, kebakaran yang terjadi karena kelalaian. Kelalaian adalah suatu tindakan yang tidak disengaja. Namun, sebenarnya hal ini yang sering menimbulkan akibat-akibat yang fatal. Hampir pada setiap peristiwa kebakaran besar, terjadi karena faktor kelalaian. Penyebab kelalaian ini, diantaranya: kurang pengertian akan pencegahan bahaya kebakaran, kurang berhati-hati dalam menggunakan alat atau bahan yang dapat menimbulkan api, dan kurangnya kesadaran pribadi atau tidak disiplin.
Kedua, kebakaran terjadi karena peristiwa alam. Sebenarnya banyak peristiwa alam yang dapat menimbulkan bahaya kebakaran. Dan pada umumnya adalah peristiwa alam yang menyangkut keadaan cuaca atau gunung berapi. Keadaan cuaca panas (sinar matahari) yang lama dapat mengakibatkan kebakaran pada gudang-dudang yang mudah terbakar atau mudah meledak. Misalnya pada gudang mesiu, gudang bahan petasan, gudang bahan kimia dan lainnya. Sementara pada peristiwa letusan gunung berapi ini, yang sering adalah mengakibatkan kebakaran hutan, atau tempat-tempat yang dilalui lava panas. Selain itu, dapat juga akibat peristiwa gempa bumi, petir/ halilintar, dan angin topan.
Ketiga, kebakaran yang terjadi karena penyalaan sendiri. Penyalaan sendiri sering terjadi pada gudang-gudang bahan kimia. Juga dapat terjadi pada tempat penyimpanan kopra, di mana udara kering dan panas dapat menyebabkan terbangnya kopra, sehingga terjadi kebakaran.
Keempat, kebakaran yang disebabkan oleh unsur kesengajaan. Peristiwa kebakaran yang disengaja pada umumnya memiliki tujuan-tujuan tertentu. Misalnya: (a) sabotase untuk menimbulkan huru-hara, biasanya karena alasan-alasan politis; (b) mencari keuntungan pribadi, misalnya karena ingin mendapat ganti rugi dari asuransi; (c) untuk menghilangkan jejak kejahatan dengan cara membakar dokumen atau bukti-bukti yang sekiranya memberatkan; dan (d) untuk tujuan taktis dalam pertempuran, misalnya dengan jalan bumi hangus.
Pemadaman Kebakaran
Apapun motif dan sebab-sebab terjadinya kebakaran, tentunya kita harus segera mungkin melakukan tindakan yang dapat memadamkan kebakaran yang terjadi. Atau paling tidak dapat mengisolasi penyebaran kebakaran jangan sampai menjalar ke daerah sekitarnya. Sehingga sebelum kita melakukan usaha pemadaman kebakaran itu, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu atas beberapa klasifikasi kebakaran itu sendiri dan prinsip-prinsip dasar dari usaha pemadaman api itu.
Secara umum ada empat klas dari klasifikasi kebakaran itu. (1) Klas A, ialah kebakaran dari bahan-bahan yang mudah terbakar, seperti: kayu, kertas, plastik, tekstil, dsb. (2) Klas B, ialah kebakaran dari bahan cair atau gas, seperti: bensin, solar, bensol, butane, dsb. (3) Klas C, ialah kebakaran yang disebabkan oleh arus listrik pada peralatan-peralatan, seperti: permesinan, generator, panel listrik, dsb. (4) Klas D, ialah kebakaran dari bahan-bahan logam, seperti: Titanium, Sodium, Alumunium, dsb.
Untuk dapat mencapai hasil yang efektif dan tepat sasaran dalam melakukan pemadaman kebakaran, maka kita harus dapat mengenal dasar-dasar dari sistem pemadaman api itu sendiri. Yakni terdiri dari tiga prinsip dasar: penguraian, pendinginan dan isolasi. Cara penguraian, merupakan sistem pemadaman dengan cara memisahkan atau menjauhkan benda-benda yang mudah terbakar. Misalnya terjadi kebakaran di gudang tekstil. Sebelum kebakaran meluas, maka tumpukan tekstil yang terdekat dengan sumber api harus segera dibongkar dan diamankan. Tindakan ini tentunya dilakukan bersama-sama dengan usaha pemadaman (baca: penyemprotan air).
Cara pendinginan, ialah sistem pemadaman dengan cara menurunkan panas. Dalam hal ini, air adalah merupakan bahan pemadam yang pokok. Sedangkan cara isolasi merupakan sistem pemadaman dengan cara mengurangi kadar oksigen pada lokasi sekitar benda-benda yang terbakar. Cara ini disebut juga sistem lokalisasi. Yaitu membatasi atau menutup benda-benda yang terbakar agar tidak bereaksi dengan oksigen. Misalnya dengan menimbun benda terbakar dengan pasir atau tanah.
Penggunaan dari ketiga sistem pemadaman kebakaran itu, tentu harus disesuaikan dengan klasifikasi kebakarannya. Di mana untuk Klas A, dapat digunakan ketiga cara tersebut (yang pokok adalah dengan cara pendinginan); Klas B dan C dengan cara isolasi; Klas D dengan cara isolasi dan pendinginan.
Dengan mengetahui sistem pemadaman, maka pada tiap-tiap klas kebakaran dapat ditentukan bahan-bahan pemadam yang cocok dan tepat digunakan. Yaitu untuk Klas A digunakan bahan air, di samping dapat pula berupa pasir, tanah dan pemadam CO2. Untuk Klas B, bahan yang paling baik digunakan ialah busa (foam) atau pemadam CO2. Di sini, air sama sekali tidak boleh digunakan, karena dapat membahayakan. Bila terpaksa digunakan, maka harus dicampur dulu dengan bahan kimia yang disebut Tipol.
Untuk Klas C, bahan yang paling baik digunakan adalah pemadam CO2. Dapat pula berupa dry chemical, pemadam CTF atau BCF. Sedangkan penggunaan air atau busa sangat berbahaya, karena air atau busa yang mengandung air merupakan penghantar listrik. Sedangkan untuk Klas D, bahan yang tepat digunakan adalah dry chemical. Bahan lain tidak boleh digunakan, kecuali Borax.
Manajemen Kebakaran
Berbicara kebakaran dan pengendaliannya, sebenarnya usaha yang dinilai efektif sampai sekarang adalah dengan melaksanakan konsep manajemen kebakaran, yang dimulai dari tahap pencegahan, penanggulangan dan pasca kebakaran.
Pencegahan (preventif fire ingnition) merupakan prinsip dasar dari manajemen kebakaran. Tetapi selama ini, kebanyakan para pemilik bangunan dan masyarakat umumnya kurang peduli dengan upaya pencegahan kebakaran. Mereka baru bertindak/ terkejut bila kebakaran terjadi. Padahal langkah menanggulangi kebakaran yang terbaik dan termurah adalah pencegahan yang dilakukan secara sistemik dan terpadu.
Menurut Soehatman Ramli (1998), dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM-UI), bahwa prinsip pemadam kebakaran pada gedung bertingkat harus didasarkan pada internal protection (perlindungan dari dalam) dengan mengutamakan kemampuan gedung melindungi diri sendiri.
Tegasnya prinsip dari penerapan manajemen kebakaran adalah akan melibatkan banyak pihak, diantaranya pemilik bangunan, pengelola bangunan, penghuni atau penyewa dan pengunjung bangunan. Di mana masing-masing pihak, tentunya mempunyai tugas dan tanggung jawab tersendiri.
Secara demikian, sebaiknya setiap pengelola/ pemilik bangunan dan masyarakat umumnya, agar benar-benar menerapkan manajemen keselamatan dan kebakaran ini, serta harus dirancang dengan usaha proteksi maksimal, sehingga mampu melindungi dirinya sendiri. Wallahu’alam bisawab.***
(Penulis adalah pemerhati masalah lingkungan dan Staf Pengajar di Akademi Kesehatan Lingkungan/ AKL Kutamaya, Bandung.)
| www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education |
Kalau kita perhatikan dari beberapa kasus kebakaran yang terjadi selama ini, ternyata faktor yang sering menjadi penyebabnya adalah akibat hubungan pendek arus listrik dan akibat kompor meledak (
Menurut Dr. Sony Heru (1997), kompor minyak mudah meledak karena sewaktu menyala, panas yang dihasilkan akan tersebar ke lingkungan di mana kompor itu berada. Bahan baku yang digunakan untuk membuat kompor tersebut tidak cukup mampu meredam panas yang dihasilkan oleh api kompor itu sendiri. Akibat panas yang ditimbulkannya adalah bahwa sebagian minyak tanah yang tersimpan di dalam tangki kompor akan ikut memanas dan menguap. Uap minyak yang hangat ini mudah disambar api dan menyebabkan adanya letupan. Keadaan ini persis dengan apa yang terjadi pada mercon bumbung (terbuat dari bambu) berbahan bakar minyak yang kita mainkan pada malam-malam di bulan puasa.
Sementara itu, penyebab kebakaran yang diakibatkan oleh adanya hubungan pendek arus listrik, biasanya dikarenakan banyak masyarakat yang merasa mampu untuk menjadi instalatir listrik, sehingga bisa seenaknya memasang instalasi atau peralatan listrik di rumah/ gedung. Hal ini menjadi lebih berbahaya karena kualitas kabel yang digunakan dapat bervariasi dan disambung seenaknya. Masalahnya, jika daya yang diperlukan ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan alat/ cara penyambungan yang ceroboh, akan dapat menimbulkan panas dan melelehkan pembungkus kabel yang tidak sesuai kapasitasnya. Selanjutnya dapat ditebak, bahwa titik api akan muncul ketika panas ini bersentuhan dengan barang-brang yang mudah terbakar. Inilah salah satu tindakan tidak disiplin masyarakat yang menghantarkan terjadinya kebakaran tersebut.
Walau demikian, menurut Gatot Soedharto (1984) sebab-sebab kebakaran pada umumnya dibagi menjadi empat bagian. Pertama, kebakaran yang terjadi karena kelalaian. Kelalaian adalah suatu tindakan yang tidak disengaja. Namun, sebenarnya hal ini yang sering menimbulkan akibat-akibat yang fatal. Hampir pada setiap peristiwa kebakaran besar, terjadi karena faktor kelalaian. Penyebab kelalaian ini, diantaranya: kurang pengertian akan pencegahan bahaya kebakaran, kurang berhati-hati dalam menggunakan alat atau bahan yang dapat menimbulkan api, dan kurangnya kesadaran pribadi atau tidak disiplin.
Kedua, kebakaran terjadi karena peristiwa alam. Sebenarnya banyak peristiwa alam yang dapat menimbulkan bahaya kebakaran. Dan pada umumnya adalah peristiwa alam yang menyangkut keadaan cuaca atau gunung berapi. Keadaan cuaca panas (sinar matahari) yang lama dapat mengakibatkan kebakaran pada gudang-dudang yang mudah terbakar atau mudah meledak. Misalnya pada gudang mesiu, gudang bahan petasan, gudang bahan kimia dan lainnya. Sementara pada peristiwa letusan gunung berapi ini, yang sering adalah mengakibatkan kebakaran hutan, atau tempat-tempat yang dilalui lava panas. Selain itu, dapat juga akibat peristiwa gempa bumi, petir/ halilintar, dan angin topan.
Ketiga, kebakaran yang terjadi karena penyalaan sendiri. Penyalaan sendiri sering terjadi pada gudang-gudang bahan kimia. Juga dapat terjadi pada tempat penyimpanan kopra, di mana udara kering dan panas dapat menyebabkan terbangnya kopra, sehingga terjadi kebakaran.
Keempat, kebakaran yang disebabkan oleh unsur kesengajaan. Peristiwa kebakaran yang disengaja pada umumnya memiliki tujuan-tujuan tertentu. Misalnya: (a) sabotase untuk menimbulkan huru-hara, biasanya karena alasan-alasan politis; (b) mencari keuntungan pribadi, misalnya karena ingin mendapat ganti rugi dari asuransi; (c) untuk menghilangkan jejak kejahatan dengan cara membakar dokumen atau bukti-bukti yang sekiranya memberatkan; dan (d) untuk tujuan taktis dalam pertempuran, misalnya dengan jalan bumi hangus.
Pemadaman Kebakaran
Apapun motif dan sebab-sebab terjadinya kebakaran, tentunya kita harus segera mungkin melakukan tindakan yang dapat memadamkan kebakaran yang terjadi. Atau paling tidak dapat mengisolasi penyebaran kebakaran jangan sampai menjalar ke daerah sekitarnya. Sehingga sebelum kita melakukan usaha pemadaman kebakaran itu, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu atas beberapa klasifikasi kebakaran itu sendiri dan prinsip-prinsip dasar dari usaha pemadaman api itu.
Secara umum ada empat klas dari klasifikasi kebakaran itu. (1) Klas A, ialah kebakaran dari bahan-bahan yang mudah terbakar, seperti: kayu, kertas, plastik, tekstil, dsb. (2) Klas B, ialah kebakaran dari bahan cair atau gas, seperti: bensin, solar, bensol, butane, dsb. (3) Klas C, ialah kebakaran yang disebabkan oleh arus listrik pada peralatan-peralatan, seperti: permesinan, generator, panel listrik, dsb. (4) Klas D, ialah kebakaran dari bahan-bahan logam, seperti: Titanium, Sodium, Alumunium, dsb.
Untuk dapat mencapai hasil yang efektif dan tepat sasaran dalam melakukan pemadaman kebakaran, maka kita harus dapat mengenal dasar-dasar dari sistem pemadaman api itu sendiri. Yakni terdiri dari tiga prinsip dasar: penguraian, pendinginan dan isolasi. Cara penguraian, merupakan sistem pemadaman dengan cara memisahkan atau menjauhkan benda-benda yang mudah terbakar. Misalnya terjadi kebakaran di gudang tekstil. Sebelum kebakaran meluas, maka tumpukan tekstil yang terdekat dengan sumber api harus segera dibongkar dan diamankan. Tindakan ini tentunya dilakukan bersama-sama dengan usaha pemadaman (baca: penyemprotan air).
Cara pendinginan, ialah sistem pemadaman dengan cara menurunkan panas. Dalam hal ini, air adalah merupakan bahan pemadam yang pokok. Sedangkan cara isolasi merupakan sistem pemadaman dengan cara mengurangi kadar oksigen pada lokasi sekitar benda-benda yang terbakar. Cara ini disebut juga sistem lokalisasi. Yaitu membatasi atau menutup benda-benda yang terbakar agar tidak bereaksi dengan oksigen. Misalnya dengan menimbun benda terbakar dengan pasir atau tanah.
Penggunaan dari ketiga sistem pemadaman kebakaran itu, tentu harus disesuaikan dengan klasifikasi kebakarannya. Di mana untuk Klas A, dapat digunakan ketiga cara tersebut (yang pokok adalah dengan cara pendinginan); Klas B dan C dengan cara isolasi; Klas D dengan cara isolasi dan pendinginan.
Dengan mengetahui sistem pemadaman, maka pada tiap-tiap klas kebakaran dapat ditentukan bahan-bahan pemadam yang cocok dan tepat digunakan. Yaitu untuk Klas A digunakan bahan air, di samping dapat pula berupa pasir, tanah dan pemadam CO2. Untuk Klas B, bahan yang paling baik digunakan ialah busa (foam) atau pemadam CO2. Di sini, air sama sekali tidak boleh digunakan, karena dapat membahayakan. Bila terpaksa digunakan, maka harus dicampur dulu dengan bahan kimia yang disebut Tipol.
Untuk Klas C, bahan yang paling baik digunakan adalah pemadam CO2. Dapat pula berupa dry chemical, pemadam CTF atau BCF. Sedangkan penggunaan air atau busa sangat berbahaya, karena air atau busa yang mengandung air merupakan penghantar listrik. Sedangkan untuk Klas D, bahan yang tepat digunakan adalah dry chemical. Bahan lain tidak boleh digunakan, kecuali Borax.
Manajemen Kebakaran
Berbicara kebakaran dan pengendaliannya, sebenarnya usaha yang dinilai efektif sampai sekarang adalah dengan melaksanakan konsep manajemen kebakaran, yang dimulai dari tahap pencegahan, penanggulangan dan pasca kebakaran.
Pencegahan (preventif fire ingnition) merupakan prinsip dasar dari manajemen kebakaran. Tetapi selama ini, kebanyakan para pemilik bangunan dan masyarakat umumnya kurang peduli dengan upaya pencegahan kebakaran. Mereka baru bertindak/ terkejut bila kebakaran terjadi. Padahal langkah menanggulangi kebakaran yang terbaik dan termurah adalah pencegahan yang dilakukan secara sistemik dan terpadu.
Menurut Soehatman Ramli (1998), dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM-UI), bahwa prinsip pemadam kebakaran pada gedung bertingkat harus didasarkan pada internal protection (perlindungan dari dalam) dengan mengutamakan kemampuan gedung melindungi diri sendiri.
Tegasnya prinsip dari penerapan manajemen kebakaran adalah akan melibatkan banyak pihak, diantaranya pemilik bangunan, pengelola bangunan, penghuni atau penyewa dan pengunjung bangunan. Di mana masing-masing pihak, tentunya mempunyai tugas dan tanggung jawab tersendiri.
Secara demikian, sebaiknya setiap pengelola/ pemilik bangunan dan masyarakat umumnya, agar benar-benar menerapkan manajemen keselamatan dan kebakaran ini, serta harus dirancang dengan usaha proteksi maksimal, sehingga mampu melindungi dirinya sendiri. Wallahu’alam bisawab.***
(Penulis adalah pemerhati masalah lingkungan dan Staf Pengajar di Akademi Kesehatan Lingkungan/ AKL Kutamaya, Bandung.)
| www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education |