LYSSA, bukanlah nama gadis seksi yang bikin laki-laki beraksi. Lyssa adalah nama virus yang di bawa melalui gigitan binatang (anjing) yang terkena rabies. Lyssa ini merupakan virus rabies termasuk famili Rhabdoviridae dan bersifat neurotrop. Virus ini menjalar melalui jaringan saraf menuju saraf sentral dengan perantaraan gigitan hewan yang menderita rabies atau jilatan hewan rabies pada kulit yang terluka.
Menyebarnya virus Lyssa akhir-akhir ini bikin heboh di Indonesia, karena kehadirannya menyebabkan pamor penyakit rabies ikut terangkat ke permukaan. Hal ini seperti diberitakan beberapa media, berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah kasus gigitan hewan penular rabies meningkat pesat dua tahun belakangan ini. Pada tahun 2008, kasus gigitan hewan penular rabies 20.926 kasus dan 104 orang meninggal karena rabies. Pada tahun 2009, jumlah gigitan naik menjadi 42.106 kasus dengan jumlah orang yang meninggal karena rabies 137 orang. Tahun 2010 hingga bulan Agustus, jumlah korban gigitan hewan penular 40.180 kasus dengan kematian 113 orang.
Tren ini menjadi perhatian, pasalnya di tahun 2010 ini, terjadi pula kejadian luar biasa rabies di Pulau Nias dan daerah Maluku Tenggara yang sebelumnya tidak pernah terdapat rabies. Sejauh ini, terdapat 24 provinsi yang melaporkan kasus rabies di daerahnya dan hanya sembilan provinsi bebas dari rabies, yaitu Bangka Belitung, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua, dan Papua Barat. Lalu, bagaimana sebenarnya secara epidemiologi keberadaan penyakit rabies ini di Indonesia?
Sejarah rabies
Rabies merupakan penyakit zoonosis yang sangat berbahaya karena dapat mengakibatkan kematian pada hewan maupun manusia. Rabies dilaporkan terjadi di seluruh dunia, kecuali Inggris, Australia dan Selandia Baru. Menurut Soedarto, Guru Besar Parasitologi Universitas Airlangga, mengungkapkan kalau virus rabies ini selain menginfeksi manusia, juga dapat menulari semua hewan berdarah panas. Karena itu berbagai binatang dapat menjadi hospes sumber penular, misalnya anjing, kucing, kera, hewan karnivora, dan kelelawar pengisap darah.
Namun demikian tutur Soedarto, pada manusia, sumber utama penularan di daerah perkotaan adalah anjing dan hewan peliharaan yang menderita rabies dan infeksi terjadi melalui gigitan. Penularan virus rabies terhadap pekerja laboratorium harus juga mendapat perhatian, terutama mereka yang menangani hewan coba yang kemungkinan menderita rabies.
Secara epidemiologis, di Indonesia penyakit rabies dilaporkan pertama kali oleh Schorl pada tahun 1884 di Bekasi pada seekor kuda, kemudian disusul laporan Esser tahun 1889 pada kerbau di Bekasi. Tahun 1890 Penning melaporkan kasus rabies pada anjing di Tangerang, sedangkan kasus rabies pada manusia dilaporkan oleh de Haan pada tahun 1894 di Cirebon (Hardjosworo, 1984).
Pada tahun 2000-2004, seperti dikutip Pudji Kurniadhi dari Balai Penelitian Veteriner Bogor, beberapa propinsi di Indonesia masih dinyatakan tertular rabies, yaitu Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam (Balai Penelitian Penyakit Hewan Wilayah I, 2000); Sumatera Barat, Riau dan Jambi (Balai Penelitian Penyakit Hewan Wilayah II 2000); Bengkulu, Lampung dan Sumatera Selatan (Marfiatiningsih dan Hassan, 2000); Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur (Hadi et al, 2003); serta Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (Faizal et al, 2004).
Menurut Supriyatna (1997), berdasarkan perhitungan tahun 1995 kerugian akibat rabies secara langsung mencapai Rp7 miliar tiap tahun. Meskipun pengendalian penyakit rabies telah dilakukan oleh pemerintah, kejadian rabies di beberapa daerah masih tetap tinggi. Di Sumatera Barat, pada tahun 1994 tercatat 592 kasus dan tahun 1995 tercatat 540 kasus. Kasus rabies di wilayah tersebut menyebabkan 9 orang meninggal dunia pada tahun 1994 dan 15 orang tahun 1995 (Mulyawan, 1996). Dan kelihatannya kasus rabies ini mulai mewabah lagi memasuki akhir tahun 2010 ini.
Diangnosis virus
Kalau kita lihat dibawah miskroskop, Rhabdovirus ini mempunyai bentuk seperti peluru dengan salah satu ujungnya mendatar. Permukaan virionnya tertutup oleh tonjolan-tonjolan. Nukleokapsid berbentuk helikal dan terbungkus oleh selubung yang permukaannya berupa Glikoprotein (Protein G).
Asam nukleat virus ini adalah single-stranded RNA dengan berat molekul sekira 3,5-4,6 x 106 Dalton. Virus yang memperbanyak diri dalam sitoplasma ini mempunyai ukuran sekira 70 x 170 nanometer.
Pada manusia maupun hewan, diagnosis virus rabies ini memiliki masaya inkubasi yang panjang, mulai dari 10 hari sampai lebih dari satu tahun lamanya. Namun, perlu diingat bahwa semakin dekat lokasi tempat masuknya virus (tempat gigitan) ke arah kepala, semakin pendek masa inkubasi.
Gejala klinis penyakit rabies dapat dibagi menjadi tiga stadium, yaitu prodromal, eksitasi, dan paralisis. Pada stadium prodromal, hewan mulai mencari tempat-tempat yang dingin/ gelap, menyendiri, reflek kornea berkurang, pupil melebar, dan hewan terlihat acuh terhadap tuannya. Pada stadium eksitasi, hewan mulai garang, menyerang hewan lain ataupun manusia yang dijumpai, dan hipersalivasi. Pada stadium paralisis, hewan mengalami kesulitan menelan, suara parau, sempoyongan, akhirnya lumpuh dan mati (Sidharta dan Sarosa, 1995).
Sementara itu, pada manusia gejala-gejala khas yang terjadi berupa demam, sulit tidur, selalu cemas dan gelisah, terjadi perubahan tingkah laku, sakit kepala, dan otot membengkak disertai kontraksi yang spasmodik terutama bila penderita diberi minum. Kemudian penderita selalu kejang, mengalami kelumpuhan dan berakhir kematian.
Akhirnya, untuk menentukan diagnosis pasti rabies agar virus Lyssa tidak menyebar dan rabies menjalar, maka virus yang terdapat di otak anjing atau hewan penderita rabies yang mati di lapangan (observasi) ini harus dilakukan pemeriksaan secara mikroskopis dengan pemeriksaan imunofluoresensi antibodi.***
Arda Dinata, bekerja di Loka Litbang Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (P2B2) Ciamis, Balitbangkes Kementrian Kesehatan R.I.