"Pemimpin itu tidak identik dengan penguasa. Pemimpin demokratis itu bukanlah yang patuh pada suara terbanyak, tapi pada kebenaran. Pemimpin itu harus memahami dan mengetahui kebutuhan warga yang dipimpinnya." ~Arda Dinata~
Orang sering menganggap pemimpin itu identik dengan penguasa. Buktinya perilaku pemimpin kadangkala bertingkah seenaknya sendiri, padahal anggapan itu sama sekali keliru. Pemimpin itu memegang amanah umat yang dipimpinnya, otomatis kebebasannya dibatasi aspirasi dan tanggung jawab kepada umatnya. Allah berfirman dalam QS. 4: 58, "Sungguh, Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak (yaitu jabatan tanggung jawab kepada orang yang dapat dipercaya)...."
Begitu pun, pemimpin demokratis, bukanlah yang patuh pada suara terbanyak. Tapi, ia patuh kepada Allah dan RasulNya, serta mendengarkan pendidikan yang membawa dirinya kepada Allah dan rakyatnya.
Untuk itu, pemimpin harus mengetahui dan memahami betul permasalahan dan kebutuhan umatnya. Yang terpenting lagi, ia haruslah orang yang terbaik (mulia) dan paling takwa di antara anak bangsa. Allah menyatakan dalam Alquran, "... Sesungguhnyalah, orang yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah ialah orang yang paling takwa...." (QS. 49: 13).
Lebih jauh, bila kita renungkan dari ayat tersebut, bahwa manusia diciptakan dari seorang laki-laki dan perempuan, dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling kenal mengenal. Hal ini berarti, kita diharuskan untuk saling tegur sapa, saling menghargai, saling kerjasama berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Perilaku model demikian, secara kolektif dapat pula dikembangkan dalam arti sepakat secara bijaksana untuk memajukan bangsa dan negara. Yakni membangun masyarakat madani, mengatasi segala bentuk hambatan dan kemerosotan pembangunan. Bentuknya, bisa kemalasan, kemiskinan, kebodohan maupun masalah korupsi, kolusi dan nepotisme.
Kegiatan semacam itu, dapat terwujud jika ada yang mengkoordinir, mengkomando dan memimpin. Orang yang berhak ialah mereka yang dalam hatinya ada perasaan cinta dan saling mendokan terhadap kita (rakyat).
Rasullah Saw bersabda, "Pemimpin kamu yang paling baik ialah yang kamu cintai dan mencintai kamu; yang kamu doakan dan mendoakan kamu. Pemimpin kamu yang paling jelek ialah yang kamu benci dan membenci kamu; yang kamu kutuk dan mengutuk kamu." (HR. Muslim).
Dengan demikian, pemimpin yang diharapkan rakyat tidak lain ialah mereka yang memiliki ketakwaan, yang diwujudkan dalam perilaku kesehariannya. Ia juga, harus mampu menggalang kesatuan dan persatuan berdasarkan prinsip bersatu dalam kebaikan dan takwa; sangat membenci kerjasama yang berisi dan mendatangkan perbuatan dosa serta permusuhan (QS. Al-Maidah: 2).
Andakah sosok yang memenuhi kualifikasi pemimpin seperti itu? Pemimpin yang berhak memimpin itu, bukan orang ambisius mengharapkan jabatan tersebut. Tapi, ia sosok dambaan rakyat yang tidak mencita-citakannya secara 'membabi buta' dan tidak serakah padanya.
Diriwayatkan oleh Abu Bakar, bahwa ia bertanya kepada Rasulullah tentang pengangkatan untuk kedudukan amanah. Beliau menjawab, "Jabatan itu hanyalah bagi orang yang tidak mencita-citakannya dan tidak serakah padanya; bagi orang-orang yang menghindarinya dan tidak bagi orang yang bersusah payah mengejarnya; bagi orang-orang yang ditawari (tanpa mereka minta) dan tidak bagi orang yang menuntutnya sebagai hak."
Akhirnya, adanya karakter ketakwaan, baik perorangan maupun kolektif tentu akan menjadi unsur penting dalam mewujudkan masyarakat adil makmur aman sejahtera. Seperti Allah janjikan dalam QS. Al-A'raf: 96, bahwa Allah janjikan kepada penduduk negeri yang beriman dan bertakwa, maka kepadanya akan dibukakan berkah dari langit dan bumi. Semoga hal ini, menyelimuti penduduk Indonesia. Aamiin..!
Purwakarta, 23 Juli 2015
Salam sukses berkah selalu.....!
Arda Dinata
www.ArdaDinata.com
Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, www.MiqraIndonesia.com