ORANG sering menganggap pemimpin itu identik dengan penguasa. Akibatnya, perilaku pemimpin kadangkala bertingkah seenaknya sendiri, padahal anggapan itu sama sekali keliru. Pemimpin itu memegang amanah umat yang dipimpinnya. Otomatis kebebasannya dibatasi oleh aspirasi dan tanggung jawab kepada umatnya. Allah berfirman: “Sungguh, Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak (yaitu jabatan tanggung jawab kepada orang yang dapat dipercaya) ....” (QS. 4: 58).
Pemimpin yang demokratis bukanlah yang patuh kepada suara terbanyak. Tapi, yang patuh kepada Allah dan RosulNya serta mendengarkan pendidikan yang membawa dirinya kepada Allah dan rakyat.
Untuk itu, pemimpin harus mengetahui dan memahami betul permasalahan dan kebutuhan umatnya. Yang terpenting lagi, pemimpin harus merupakan orang terbaik (mulia) dan paling takwa di antara anak bangsa. Allah menyatakan dalam al-Qur’an, “ . . . . Sesungguhnyalah, orang yang paling mulia diantara kamu dalam pandangan Allah ialah orang yang paling takwa . . . .” (QS. 49: 13).
Mengacu pada firmanNya itu, bahwa manusia diciptakan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling kenal mengenal. Arti lainnya, saling tegur sapa, saling menghargai, bekerjasama berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Perbuatan itu secara kolektif dapat pula dikembangkan dalam arti sepakat secara berjamaah untuk memajukan bangsa dan negara, membangun kehidupan masyarakat madani, mengatasi segala bentuk hambatan dan kemerosotan pembangunan. Bentuknya bisa dalam kemalasan, kemiskinan, kebodohan maupun masalah korupsi, kolusi dan nepotisme.
Kegiatan itu terwujud, jika ada yang mengkordinir, mengkomando dan memimpin. Orang yang berhak ialah mereka yang dalam hatinya ada perasaan cinta dan saling mendoakan terhadap kita (rakyat).
Rasulullah Saw bersabda: “Pemimpin kamu yang paling baik ialah yang kamu cintai dan mencintai kamu: yang kamu doakan dan mendoakan kamu. Pemimpin kamu yang paling jelek ialah yang kamu benci dan membenci kamu: yang kamu kutuk dan mengutuk kamu.” (HR. Muslim).
Jadi, pemimpin yang diharapkan umat tidak lain mereka yang memiliki ketakwaan kepada Allah SWT, yang diwujudkan dalam perilaku kesehariannya. Ia juga harus mampu menggalang kesatuan dan persatuan berdasarkan prinsip bersatu dalam kebaikan dan takwa: sangat membenci kerjasama yang berisi dan mendatangkan perbuatan dosa serta permusuhan (QS. al-Maidah: 2).
Perlu dicatat, pemimpin yang berhak memimpin bangsa ini, bukan orang ambisius mengharapkan jabatan tertentu. Tapi, ia sosok dambaan rakyat yang tidak mencita-citakannya secara ‘membabi buta’ dan tidak serakah padanya. Abu Bakar bertanya kepada Rasulullah tentang pengangkatan untuk kedudukan amanah. Beliau menjawab: “Jabatan itu hanyalah bagi orang yang tidak mencita-citakannya dan tidak serakah padanya; bagi orang-orang yang menghindarinya dan tidak bagi orang yang bersusah payah mengejarnya; bagi orang-orang yang ditawari (tanpa mereka minta) dan tidak bagi orang yang menuntutnya sebagai hak.”
Sekalipun perintah itu berlaku umum tanpa merinci perangkat pemilihan tertentu untuk mendapatkan orang yang tepat untuk mengelola urusan kenegaraan, maka tugas para wakil rakyat hasil pemilu 1999 untuk menyediakan kelengkapan aturan praktis guna melaksanakan perintah tersebut.
Mereka diharapkan mampu mengembangkan sistem pemilihan yang akan menjamin pengangkatan hanya orang-orang yang dapat dipercaya dan takwa; yang dicintai dan merupakan orang yang bersimpati kepada semua rakyat.
Adanya kualifikasi ketakwaan, baik perorangan maupun kolektif, akan menjadi unsur penting dalam mewujudkan masyarakat adil makmur aman sejahtera. Seperti Allah janjikan kepada penduduk negeri yang beriman dan bertakwa, maka kepadanya akan dibukakan berkah dari langit dan bumi (QS. al-A’raf: 96). Semoga hal ini menyelimuti penduduk Indonesia.
***
SELAIN kualifikasi pemimpin di atas, ada satu hal yang perlu dimiliki seorang pemimpin. Baik kepala negara, menteri-menteri, para anggota lembaga permusyawaratan dan pejabat negara umumnya, yakni keteladanan pemimpin.
Keteladanan saat ini tidak dapat ditawar-tawar lagi. Efek positifnya menjadikan seseorang tidak perlu berteriak-teriak agar mereka yang dipimpinnya mengikuti atau mentaatinya. Setiap kita mungkin sepakat bahwa keteladananlah yang membuat seorang pemimpin menjadi berwibawa, diikuti dan dihormati bawahannya.
Ada lima hal yang dilakukan bagi seorang pemimpin untuk merefleksikan moral dan budipekertinya. Pertama, seorang pemimpin sudah sewajarnya memberikan keteladanan dalam hal keberanian, kerendahan hatian, keteguhan pendirian, ketahanan fisik, dan berpolitik (QS. 9: 13, 26: 215, 2: 214, 8: 60, dan 3: 159).
Kedua, seorang pemimpin harus memberikan keteladanan kepada anak buahnya menyangkut hal ibadah, kedermawanan, kesederhanaan, dan penyantun (QS. 17: 79-82, 2: 26, 20: 131, dan 7: 199).
Ketiga, seorang pemimpin selain teladan juga harus berpandangan tajam dan berwawasan luas. Berbekal ini, ia akan mengelola amanah dengan ilmu yang dimilikinya dan memperkirakan hal-hal yang dapat mengakibatkan bencana bagi rakyatnya sekaligus ia mampu melakukan upaya preventif dan mengantisipasinya.
Keempat, seorang pemimpin harus bersabar dalam menjalani amanah yang diembannya, baik ketika melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat (berdakwah), menghadapi musibah, dan dalam mengendalikan hawa nafsunya (QS. 18: 28, 2: 155-157, dan 21: 35).
Kelima, bagi seorang pemimpin yang terpenting adalah selalu bersabar dalam ketakwaan (mentaati perintah Allah), dalam membina hubungan bermasyarakat dan bernegara, dan dalam kancah ‘peperangan’ dikala berkecamuk (QS. 4: 19 dan 8: 45).
Semoga pemimpin terpilih hasil SU MPR nanti, merupakan sosok pemimpin yang (mendekati) kualifikasi dan keteladanan seperti di atas. Pada pundak pemimpinlah nasib bangsa dan rakyat Indonesia akan dituntunnya memasuki abad mellinium baru.***
Arda Dinata, seorang Pendidik dan anggota Forum Dakwah Bilqolam ELJEHA (Laboratorium Jurnalistik Hikmah) Bandung.
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.
Pemimpin yang demokratis bukanlah yang patuh kepada suara terbanyak. Tapi, yang patuh kepada Allah dan RosulNya serta mendengarkan pendidikan yang membawa dirinya kepada Allah dan rakyat.
Untuk itu, pemimpin harus mengetahui dan memahami betul permasalahan dan kebutuhan umatnya. Yang terpenting lagi, pemimpin harus merupakan orang terbaik (mulia) dan paling takwa di antara anak bangsa. Allah menyatakan dalam al-Qur’an, “ . . . . Sesungguhnyalah, orang yang paling mulia diantara kamu dalam pandangan Allah ialah orang yang paling takwa . . . .” (QS. 49: 13).
Mengacu pada firmanNya itu, bahwa manusia diciptakan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling kenal mengenal. Arti lainnya, saling tegur sapa, saling menghargai, bekerjasama berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Perbuatan itu secara kolektif dapat pula dikembangkan dalam arti sepakat secara berjamaah untuk memajukan bangsa dan negara, membangun kehidupan masyarakat madani, mengatasi segala bentuk hambatan dan kemerosotan pembangunan. Bentuknya bisa dalam kemalasan, kemiskinan, kebodohan maupun masalah korupsi, kolusi dan nepotisme.
Kegiatan itu terwujud, jika ada yang mengkordinir, mengkomando dan memimpin. Orang yang berhak ialah mereka yang dalam hatinya ada perasaan cinta dan saling mendoakan terhadap kita (rakyat).
Rasulullah Saw bersabda: “Pemimpin kamu yang paling baik ialah yang kamu cintai dan mencintai kamu: yang kamu doakan dan mendoakan kamu. Pemimpin kamu yang paling jelek ialah yang kamu benci dan membenci kamu: yang kamu kutuk dan mengutuk kamu.” (HR. Muslim).
Jadi, pemimpin yang diharapkan umat tidak lain mereka yang memiliki ketakwaan kepada Allah SWT, yang diwujudkan dalam perilaku kesehariannya. Ia juga harus mampu menggalang kesatuan dan persatuan berdasarkan prinsip bersatu dalam kebaikan dan takwa: sangat membenci kerjasama yang berisi dan mendatangkan perbuatan dosa serta permusuhan (QS. al-Maidah: 2).
Perlu dicatat, pemimpin yang berhak memimpin bangsa ini, bukan orang ambisius mengharapkan jabatan tertentu. Tapi, ia sosok dambaan rakyat yang tidak mencita-citakannya secara ‘membabi buta’ dan tidak serakah padanya. Abu Bakar bertanya kepada Rasulullah tentang pengangkatan untuk kedudukan amanah. Beliau menjawab: “Jabatan itu hanyalah bagi orang yang tidak mencita-citakannya dan tidak serakah padanya; bagi orang-orang yang menghindarinya dan tidak bagi orang yang bersusah payah mengejarnya; bagi orang-orang yang ditawari (tanpa mereka minta) dan tidak bagi orang yang menuntutnya sebagai hak.”
Sekalipun perintah itu berlaku umum tanpa merinci perangkat pemilihan tertentu untuk mendapatkan orang yang tepat untuk mengelola urusan kenegaraan, maka tugas para wakil rakyat hasil pemilu 1999 untuk menyediakan kelengkapan aturan praktis guna melaksanakan perintah tersebut.
Mereka diharapkan mampu mengembangkan sistem pemilihan yang akan menjamin pengangkatan hanya orang-orang yang dapat dipercaya dan takwa; yang dicintai dan merupakan orang yang bersimpati kepada semua rakyat.
Adanya kualifikasi ketakwaan, baik perorangan maupun kolektif, akan menjadi unsur penting dalam mewujudkan masyarakat adil makmur aman sejahtera. Seperti Allah janjikan kepada penduduk negeri yang beriman dan bertakwa, maka kepadanya akan dibukakan berkah dari langit dan bumi (QS. al-A’raf: 96). Semoga hal ini menyelimuti penduduk Indonesia.
***
SELAIN kualifikasi pemimpin di atas, ada satu hal yang perlu dimiliki seorang pemimpin. Baik kepala negara, menteri-menteri, para anggota lembaga permusyawaratan dan pejabat negara umumnya, yakni keteladanan pemimpin.
Keteladanan saat ini tidak dapat ditawar-tawar lagi. Efek positifnya menjadikan seseorang tidak perlu berteriak-teriak agar mereka yang dipimpinnya mengikuti atau mentaatinya. Setiap kita mungkin sepakat bahwa keteladananlah yang membuat seorang pemimpin menjadi berwibawa, diikuti dan dihormati bawahannya.
Ada lima hal yang dilakukan bagi seorang pemimpin untuk merefleksikan moral dan budipekertinya. Pertama, seorang pemimpin sudah sewajarnya memberikan keteladanan dalam hal keberanian, kerendahan hatian, keteguhan pendirian, ketahanan fisik, dan berpolitik (QS. 9: 13, 26: 215, 2: 214, 8: 60, dan 3: 159).
Kedua, seorang pemimpin harus memberikan keteladanan kepada anak buahnya menyangkut hal ibadah, kedermawanan, kesederhanaan, dan penyantun (QS. 17: 79-82, 2: 26, 20: 131, dan 7: 199).
Ketiga, seorang pemimpin selain teladan juga harus berpandangan tajam dan berwawasan luas. Berbekal ini, ia akan mengelola amanah dengan ilmu yang dimilikinya dan memperkirakan hal-hal yang dapat mengakibatkan bencana bagi rakyatnya sekaligus ia mampu melakukan upaya preventif dan mengantisipasinya.
Keempat, seorang pemimpin harus bersabar dalam menjalani amanah yang diembannya, baik ketika melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat (berdakwah), menghadapi musibah, dan dalam mengendalikan hawa nafsunya (QS. 18: 28, 2: 155-157, dan 21: 35).
Kelima, bagi seorang pemimpin yang terpenting adalah selalu bersabar dalam ketakwaan (mentaati perintah Allah), dalam membina hubungan bermasyarakat dan bernegara, dan dalam kancah ‘peperangan’ dikala berkecamuk (QS. 4: 19 dan 8: 45).
Semoga pemimpin terpilih hasil SU MPR nanti, merupakan sosok pemimpin yang (mendekati) kualifikasi dan keteladanan seperti di atas. Pada pundak pemimpinlah nasib bangsa dan rakyat Indonesia akan dituntunnya memasuki abad mellinium baru.***
Arda Dinata, seorang Pendidik dan anggota Forum Dakwah Bilqolam ELJEHA (Laboratorium Jurnalistik Hikmah) Bandung.
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.