Pasrah

"Kadang, pasrah bukan berarti menyerah. Itu adalah pilihan untuk membiarkan alam semesta menunjukkan jalannya." (Sumber foto: FB Arda Dinata).

Oleh: Arda Dinata

PRO BLOG MENULIS - "Kadang, pasrah bukan berarti menyerah. Itu adalah pilihan untuk membiarkan alam semesta menunjukkan jalannya."

Angin sore menerpa wajah Nuril, dingin dan menenangkan, seolah memeluk tubuhnya yang lelah. Ia duduk diam di tepi tebing, menatap lautan luas yang terhampar di depannya. Matahari yang mulai tenggelam perlahan-lahan meninggalkan jejak oranye di atas cakrawala, memantulkan kilauan lembut di permukaan air. Sesaat, ia merasa seperti bagian kecil dari dunia yang luas dan misterius ini. Setiap debur ombak, setiap hembusan angin, seolah berbicara dalam bahasa yang hanya bisa dipahami oleh hati yang sedang bertanya.

Nuril telah melewati begitu banyak hal. Hidup yang penuh dengan keputusan-keputusan besar dan kecil, seolah menjeratnya dalam lingkaran tak berujung. Setiap kali ia merasa sudah menemukan jawaban, selalu ada pertanyaan baru yang muncul. Begitulah hidup, pikirnya. Tak pernah ada kepastian mutlak, hanya perjalanan yang penuh liku.

Namun, hari ini berbeda. Nuril merasa seolah berada di persimpangan jalan yang terjal. Di satu sisi, ia ingin melawan, terus bertarung dengan segala masalah yang menghimpitnya. Di sisi lain, ada dorongan untuk menyerah, bukan dalam arti kalah, tapi lebih kepada membiarkan dirinya hanyut oleh arus kehidupan. Dalam hatinya, ada bisikan halus yang berkata, "Mungkin, inilah saatnya untuk pasrah."


Beberapa minggu sebelumnya, hidup Nuril terasa seperti medan perang. Ia berusaha keras mempertahankan pekerjaannya yang penuh tekanan, sementara di rumah, masalah keluarga semakin membesar. Ayahnya jatuh sakit, dan tanggung jawab untuk merawatnya jatuh di pundak Nuril, karena saudaranya tinggal di kota lain. Setiap hari, ia harus membagi waktu antara pekerjaannya dan kewajiban keluarganya.

Suatu malam, ketika ia pulang terlambat dari kantor, ayahnya memanggilnya dengan suara lemah. "Nak, jangan terlalu memaksakan diri. Kadang-kadang kita harus belajar menerima apa yang tidak bisa kita ubah."

Nuril hanya tersenyum kecil waktu itu, berpikir bahwa ayahnya hanya ingin menghiburnya. Namun, kata-kata itu terus terngiang di kepalanya, semakin lama semakin kuat. Menerima? Bagaimana mungkin ia bisa menerima situasi ini tanpa melawan? Bukankah hidup ini adalah tentang perjuangan?


Dan kini, di tepi tebing ini, Nuril kembali memikirkan kata-kata ayahnya. Pasrah. Bukan menyerah, tapi pasrah. Dalam diam, ia mulai merenungi makna di balik kata itu. Ada perbedaan tipis antara menyerah karena kalah dan pasrah karena bijaksana. Pasrah adalah ketika kau menyadari bahwa ada hal-hal yang tidak bisa kau kendalikan, dan pada titik itu, kau melepaskan diri dari keinginan untuk mengendalikan semuanya.

Nuril menatap lautan yang tenang. Gelombang-gelombang kecil terus datang, satu demi satu, seolah-olah tak peduli pada apa pun yang terjadi di atasnya. "Apakah aku bisa seperti itu?" tanya Nuril pada dirinya sendiri. "Apakah aku bisa menerima hidup sebagaimana adanya, tanpa merasa harus terus berjuang melawan arus yang tak bisa kuhentikan?"

Hidup, baginya, selalu tentang berjuang. Dari kecil, ia dididik untuk selalu berusaha keras, untuk tidak pernah menyerah pada keadaan. Tapi kini, di tengah semua masalah yang menimpanya, Nuril mulai merasakan bahwa tidak semua pertempuran harus dimenangkan dengan kekuatan. Ada kalanya, mungkin, kemenangan sejati justru ditemukan dalam keheningan, dalam penerimaan.


Teringat kembali saat ia berada di kantor beberapa hari yang lalu. Atasan memarahinya karena satu laporan yang terlambat diserahkan. Padahal, ia sudah bekerja lembur hampir setiap malam. Nuril merasa frustrasi, marah, dan tak berdaya. Tapi di saat yang sama, ia juga merasakan dorongan untuk tidak lagi memedulikan kemarahan atasannya. Seperti ada suara kecil di dalam dirinya yang berkata, "Lepaskan. Kau sudah melakukan yang terbaik."

Hari itu, untuk pertama kalinya, Nuril tidak menangis setelah dimarahi. Ia hanya duduk diam di mejanya, membiarkan segala kemarahan dan frustrasi itu lewat. "Mungkin, inilah yang dimaksud ayah dengan pasrah," pikirnya. Tidak ada gunanya memaksa segalanya berjalan sesuai keinginannya. Dunia ini terlalu luas dan rumit untuk bisa dikendalikan oleh satu orang saja.


Kini, di hadapan lautan ini, Nuril merasa seolah-olah semua tekanan yang ia rasakan mulai perlahan-lahan menghilang. Ia tak perlu menjadi sempurna. Ia tak perlu memenangkan setiap pertempuran. Yang ia butuhkan adalah kedamaian dalam dirinya sendiri, untuk bisa menerima bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana.

Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara dingin memasuki paru-parunya, dan menghembuskannya perlahan. Di saat itu, ia merasakan sesuatu yang baru—sebuah kebebasan. Bukan kebebasan dari masalah-masalahnya, tapi kebebasan dari beban untuk selalu harus mengendalikannya. Pasrah, pikirnya, adalah tentang menerima bahwa apa yang terjadi dalam hidupnya, baik atau buruk, adalah bagian dari perjalanan.

Nuril bangkit dari duduknya. Matahari hampir sepenuhnya tenggelam, meninggalkan jejak merah di cakrawala. Ia tahu bahwa esok hari masalah-masalahnya mungkin belum selesai, ayahnya mungkin masih sakit, dan pekerjaannya mungkin masih menuntut. Namun, ia tidak lagi merasa harus melawan semua itu dengan kekerasan hati. Ia bisa berjalan dengan tenang, dengan kesadaran bahwa tidak semua hal perlu diperjuangkan dengan cara yang sama.


Saat ia berjalan menjauhi tebing, Nuril merasakan sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Bukan perasaan kalah, tapi perasaan lega. Ia telah menemukan cara baru untuk menghadapi hidup—dengan pasrah, namun tetap tegar. Tidak lagi bertarung melawan arus, tapi juga tidak hanyut begitu saja. Ia akan tetap melangkah, tapi dengan kesadaran bahwa tak semua hal harus di bawah kendalinya.

Malam itu, Nuril pulang ke rumah dengan hati yang lebih ringan. Di dalam gelapnya malam, ia tahu bahwa jalan hidupnya masih panjang, dan meski arusnya bisa menjadi deras dan menakutkan, ia kini siap untuk mengikuti alurnya, dengan hati yang pasrah dan damai.

Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah artikel ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info artikel terbaru dari website ini.

Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online, Sehari-hari Bekerja Sebagai Sanitarian Ahli & Penanggung Jawab Laboratorium Kesehatan Lingkungan, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.

www.ArdaDinata.com:  | Share, Reference & Education |
| Sumber Berbagi Inspirasi, Ilmu, dan Motivasi Sukses |
Twitter: @ardadinata 
Instagram: @arda.dinata
Telegram: ardadinata

Books by Arda Dinata on Google Play
Ebooks

Toko Sosmed
Klik Di Sini Melihat Koleksi Ebook Karya Arda Dinata Lainnya

A Group Member of:
Toko SosmedToko SosmedToko SosmedWWW.ARDADINATA.COMWWW.ARDADINATA.COMInSanitarianMIQRA INDONESIA


BACA ARTIKEL LAINNYA:

Arda Dinata

Arda Dinata is a writer for various online media, lives in Pangandaran - West Java. www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education | | Source for Sharing Inspiration, Knowledge and Motivation for Success | World of Business, Business, Boss, Rich, Money, Dollars and Success |

Lebih baru Lebih lama