Memutus Covid-19 Dengan Budaya PHBSoleh Arda DinataPerilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) berupa cuci tangan dengan air bersih dan sabun adalah yang tepat dan murah bisa dilakukan oleh siapa saja. Sebab secara umum cara penularan Covid-19 bisa lewat menghirup percikan ludah dan bersin atau batuk penderita. Selanjutnya, bisa lewat kontak jarak dekat dengan penderita, seperti bersentuhan atau jabat tangan. Yang terakhir dapat terjadi penularan dengan perilaku memegang mulut dan hidung tanpa mencuci tangan setelah menyentuh benda yang terkena air liur penderita.
Tubuh yang dimasuki virus apa pun, belum tentu selalu harus jatuh sakit. Peperangan berlangsung di dalam tubuh yang sudah dimasuki virus, oleh karena tubuh memiliki perangkat kekebalan, atau sistem imun, baik berupa cairan dalam darah maupun sel darah putih. Keduanya secara bermitra menyerbu tempat di mana virusnya masuk. Namun, belum tentu perangkat kekebalan tubuh punya semua senjata penumpas untuk melawan virus yang sudah terlanjur masuk (Nadesul, 2020).
Penularan SARS-CoV-2 sendiri terjadi melalui percikan air akibat batuk atau bersin (droplet) yang menyembur hingga jarak dua meter. Virus ini di dalam droplet, berdasarkan suatu percobaan simulasi, sebagian kecil mampu bertahan di udara minimal selama 3 jam, dan sebagian besar bertahan di permukaan tubuh dan benda selama 5,6 hingga 6,8 jam bila tidak dilakukan proses disinfeksi. Virus menginfeksi manusia ketika menyentuh permukaan benda atau menghirup droplet yang terkontaminasi, sehingga virus menempel pada selaput lendir mata, hidung, dan saluran napas termasuk paru. Tubuh mengalami radang untuk membunuh virus sehingga timbul gejala umum seperti demam hingga lebih dari 37,5 derajat celsius (Pratomo, 2020).
Dalam bahasa lain, seperti digambarkan Widyasmoro (2020), keluhan yang dirasakan mirip orang terkena “flu”, mulai dari demam, batuk, pilek, nyeri dada, dan sesak napas. Namun lebih jauh, yang muncul kemudian bisa pneumonia, sindrom gangguan pernapasan akut, sepsis, atau syok septik. Pada komplekasi yang parah, kematian bisa datang menyapa.
Adapun orang-orang yang berisiko tinggi tertular COVID-19 adalah mereka yang memiliki sistem imunitas lemah, anak kecil, dan usia di atas 70 tahun (lansia). Kondisi ini diperberat lagi bila penderita memiliki riwayat penyakit penyerta seperti diabetes melitus, penyakit jantung, penyakit paru menahun, dan kanker.
Lebih celaka, Covid-19 juga bisa mengakibatkan serangan infeksi yang lebih luas (sistemik). Mekanismenya memang belum diketahui persis, namun ternyata virus ini juga didapati bercokol pada sistem pencernaan, hati, bahkan ginjal. Organ-organ yang terserang makin memperburuk kondisi pasien secara keseluruhan, hingga akhirnya berujung kematian.
Sementara itu, menurut Julianto (2020), kalau kita bandingkan dengan tingkat penularan virus Covid-19 jauh lebih tinggi dibandingkan virus SARS maupun MERS, namun tingkat fatalitasnya tergolong lebih rendah. Lebih mirip virus influenza biasa. Bandingkan dengan virus flu burung H5N1 yang diidentifikasi tahun 1997 hingga saat ini tercatat 861 kasus dengan 453 kematian (52,8%), atau virus flu burung H7N9 yang diidentifikasi tahun 2013 dengan 1.568 kasus dan 616 kematian (39,3%).
Virus penyebab Covid-19, si bungsu dari virus Corona tadi sebenarnya tidak lebih galak dibanding saudara dekatnya. Yang membedakan hanyalah, daya tular virus Covid-19 yang cepat. Apa artinya ihwal daya tularnya yang cepat? Artinya berdaya tular cepat, tidak boleh ada orang pembawa virus yang berkeliaran di tempat publik. Tersangka, terdampak Covid-19, seharusnya tidak keluar rumah (Nadesul, 2020).
Bersambung ke: Filosofi PHBS
Arda Dinata,
Peneliti dan aktif di Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI).