Ketika Ruang Terbuka Hijau Tergadaikan

Oleh Arda Dinata

Pembangunan merupakan kata yang menjanjikan sebuah perubahan ke arah perbaikan hidup manusia. Tapi, nyatanya tidak sedikit orang yang menderita akibat adanya proses pembangunan yang mengabaikan aspek keselamatan lingkungan dan kesehatan manusia.
Kenyataan itulah, sekiranya yang sering kita saksikan dari proses pembangunan yang terjadi di beberapa daerah, termasuk di Jawa Barat. Ambil contoh adalah pembangunan jalan tol Pasupati. Dulu, sebelum proyek ini berjalan, betapa indahnya mata memandang, rindang, nyaman dan segarnya bila kita berjalan mengikuti jalan Pasteur oleh rimbunnya pohon-pohon yang ada saat itu. Tapi, kini itu semua tinggal kenangan. Sekarang yang terasa adalah udara panas, debu, dan kegerahan. Inikah yang namanya pembangunan.

Haruskah dengan alasan pembangunan, setiap itu pula aspek kelestarian lingkungan tergadaikan atau bahkan dilupakan? Belajar dari kasus ini, tentu kita dapat mengambil pelajaran bahwa sudah seharusnya pemerintah dalam melakukan pembangunan tidak melupakan aspek keselamatan lingkungan hidup.

Pada konteks kekinian, pantas saja adanya rencana pembangunan kondonium di kawasan Babakan Siliwangi (BS), direaksi keras oleh sejumlah pakar lingkungan Kota Bandung. Beberapa pakar yang menolak rencana itu antara lain, Direktur Human Ecology Universitas Padjajaran, Prof Oekan S Abdullah MA PhD, serta Ketua Jurusan Planalogi Institut Teknologi Bandung (ITB), Hastu Prabatmadjo PhD. Penolakan juga datang dari Direktur Geologi. (Republika, 20/01/03).

Inti dari penolakan tersebut tidak lain, adalah pertama, pembangunan BS akan bertentangan dengan kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung dalam mengendalikan kemacetan. Kedua, pembangunan BS dapat dipastikan bakal merubah fungsi lahan. Padahal, kawasan BS sendiri, dinyatakan sebagai ruang terbuka hijau (RTH). Dan ketiga, bila proyek BS jadi dijalankan, maka dikhawatirkan potensi banjir akan meningkat karena proyek ini membuat berkurangnya daerah resapan air.

Perumahan dan Taman Kota

Bila kita perhatikan, secara garis besar masalah lingkungan di Indonesia menyangkut dalam 4pada, yaitu: population (kependudukan), pollution (pencemaran), policy (kebijakan), dan poverty (kemiskinan). Kenyataannya bisa kita saksikan, kondisi pertumbuhan penduduk yang cepat dan penyebaran yang tidak merata dapat mengakibatkan tekanan berat terhadap sumber daya alam. Terlebih lagi, pertumbuhan penduduk yang tinggi tanpa tersedianya sumber daya alam yang cukup hanya menyebabkan kemiskinan.

Kondisi kemiskinan tersebut, tentu dapat mendorong orang untuk mengeksploitasi sumber daya alam guna mencukupi kebutuhan hidupnya dan merupakan salah satu sumber pencemaran yang diakibatkan oleh sampah rumah tangga yang dibuang sembarangan di sekitar daerah kumuh.

Adanya jumlah penduduk ini, tentu berkait erat pula dengan tersedianya sarana perumahan yang akrab dengan lingkungan. Bukan sebaliknya, menciptakan kawasan pemukiman/ perumahan yang mengorbankan lingkungan. Karena tindakan semacam ini, hanyalah memindahkan satu masalah dengan memunculkan masalah lain yang baru. Sehingga pembangunan perumahan di mana pun, sebelum membangunnya harus tetap mengutamakan fungsi lahan tersebut dan aspek keselamatan lingkungan hidupnya.

Walaupun kita semua menyadari bahwa perumahan merupakan kebutuhan dasar manusia selain pangan, sandang, dan kesehatan. Pembangunan perumahan dan pemukiman, dengan sendirinya merupakan unsur pokok dalam pewujudan kesejahteraan masyarakat. Upaya pemenuhan akan perumahan merupakan sasaran yang sama pentingnya dengan peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, pembangunan perumahan dan pemukiman merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, yang pada hakikatnya adalah pembangunan manusia seutuhnya (Herlina; 1999).

Secara demikian, rencana pembangunan kondonium di kawasan resapan air BS, sebelumnya haruslah memperhatikan realitas awal dari fungsi lahan tersebut dan keadaan menyeluruh dari kondisi taman kota, hutan kota ataupun ruang terbuka hijau yang ada di Kota Bandung saat ini. Artinya, jangan sampai adanya pembangunan semacam itu, lagi-lagi akan mengabaikan keselamatan lingkungan (baca: kepentingan orang banyak) dan mengutamakan/ menguntungkan sebagian kecil pihak tertentu.

Berkait dengan dampak keberadaan hutan kota, taman kota ataupun ruang terbuka hijau saat ini, warga Kota Bandung, mungkin telah merasakan adanya perubahan suhu di lingkungan tempat tinggalnya. Yakni terasa panas, kotor, berdebu, dan jauh dari semerbak harum bunga.

Padahal, kalau kita telusuri dari literatur milik Haryato Kunto (Wajah Bandung Tempo Dulu; 1985), disebutkan bahwa sekitar akhir abad 19 dan awal abad 20, Bandung dihiasi berbagai taman seperti Taman Merdeka (Pieters Park) yang merupakan taman bunga pertama di Bandung (1885), Taman Sari (Jubileum Park) yang berupa hutan tropis mini, Taman Ganeca (Ijzerman Park), yang berupa kolam ikan dengan aneka bunga terate, Taman Maluku (Molukken Park), Taman Nusantara (Insulinde Park) serta beragam pohon pelindung jalan.

Dengan berkurangnya (pohon) taman-taman itulah, salah satu penyebabnya, yang menjadikan Kota Bandung tidak seindah dan senyaman tempo dulu lagi. Lebih jauh, ia bisa berakibat menyebabkan tingkat polusi dan penyakit paru-paru cukup tinggi.

Singkatnya, kondisi hutan Kota Bandung benar-benar kritis, jauh dari angka ideal yang dibutuhkan warga kota yang telah mencapai lebih dari 2,3 juta jiwa. Istilah lainnya, wilayah RTH di Kota Bandung ini masih sedikit. Dan saat ini jumlah pohon perlindung sebanyak 229.649 pohon. Padahal, idealnya kata Kepala Dinas Pertamanan Kota Bandung, Drs. Ernawan, jumlahnya 920.000 pohon pelindung atau 40% dari jumlah penduduk. Jumlah tersebut dihitung dengan rumusan 2,3 juta jiwa dikali 0,5 kg oksigen dikali 1 pohon dibagi 1,2 kg, sama dengan 2,3 juta kali 0,4 kg oksigen dikali 1 pohon, menghasilkan 920.000 pohon.

Pada taraf yang lebih luas lagi, misalnya untuk daerah Jawa Barat, jika kejahatan penebangan liar saat ini masih terus dibiarkan, maka hutan Jabar akan musnah. Berdasarkan data Dinas Kehutanan, dari 784.119 ha hutan di Jabar, terdapat sekitar 213.443,23 ha lahan kritis. Daerah yang hutannya paling parah dilanda kerusakan adalah Sukabumi, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis.

Untuk mengendalikan lahan kritis tersebut, pemerintah telah mengalokasikan Rp 79,308 miliar untuk proyek penghijauan lahan kritis di Jabar. Dana sebesar itu berasal dari Dana Pembangunan Kabupaten (APBN) sebesar 29,154 miliar dan bantuan luar negeri (BLN) Rp 50,104 miliar. Kondisi yang sedemikian parah itu, akhirnya membuat banyak kalangan memprediksikan bahwa bila hal tersebut tidak segera ditangani dan ditanggulangi dengan baik, maka hutan di Jabar diperkirakan musnah dalam waktu 5–10 tahun mendatang. Semoga hal ini tidak terjadi, karena tidak bisa kita bayangkan bagaiman nasib manusia, bila kadar oksigen di bumi ini berkurang??

Arti Sebuah Pohon

Untuk itu, mari kita sambut, gemakan dan diimplementasikan secara nyata ide dari Bupati H Obar Sobarna SIP beberapa waktu lalu berupa “kewajiban” menanam pohon buah-buahan bagi calon pengantin, sebagai simbol dari membangun keluarga sakinah dan cinta lingkungan demi anak cucu kita kelak.

Ide tersebut, tentu patut didukung oleh setiap lapisan masyarakat yang menginginkan Bandung (merebut kembali) dengan julukan Paris-nya Jawa, Paris Van Java. Pada tataran yang lebih luas --demi kelangsungan pelestarian bumi kita--, maka gagasan ini patut dicontoh dan diimplementasikan secara benar oleh daerah-daerah yang lain di seantero Republik Indonesia.

Dari sini, kalau saja, kita mau berpikir tentang keberadaan sebuah pohon. Mulai dari ditanam—dipelihara—dewasa (lagi) berbuah. Di sini, ada sebuah pelajaran yang baik bagi kita dalam membangun sebuah kehidupan. Ketika kita menanam pohon, maka berawal dari niat, kemudian kita dengan susah payah menjaga dan memelihara kelangsungan hidupnya. Yang pada akhirnya bisa hidup dengan kokoh dan “menghasilkan” bagi makhluk yang lain (termasuk manusia).

Lebih dari itu, banyak hal yang dapat kita petik dari setiap pohon yang bisa kita tanam. Bukan hanya rindangnya dengan dedaunan dan manisnya buah-buahan semata, tapi juga memperkaya ekosistem kehidupan. Seorang petani organik dari Jepang yaitu Masanobu Fukuoka, seperti dikutip Syaefudin Siman (2000), mengungkapkan bahwa sebuah pohon adalah sebuah kehidupan. Adanya sebuah pohon akan menumbuhkan kehidupan pelbagai organisma di sekelilingnya. Di sekitar daun, batang, dan akar, ada sebuah kerjasama yang harmoni dan saling menguntungkan. Diantara yang paling diuntungkan adalah manusia itu sendiri.

Secara demikian, pada tataran seperti itulah seharusnya sebuah pembangunan perumahan kita bangun dan dikembangkan. Yaitu menuju kehidupan yang harmonis. Tidak saja bagi diri kita, tapi juga bagi sebanyak-banyaknya manusia. Jadi, bukannya kita membangun perumahan (baca: kondonium) dengan cara menggadaikan RTH, karena aset ini tidak lain demi keselamatan anak cucu kita.

Akhirnya, ketika kita membiarkan RTH tergadaikan, maka percayalah bahwa pembangunan itu akan menyengsarakan manusia itu sendiri. Lebih baik bila ada tanah kosong di sekitar lingkungan rumah kita, tanamlah pohon buah. Pohon buah, tak hanya indah tapi juga menghasilkan sumber gizi. Maka, sudah saatnya pemerintah melakukan “pernikahan pembangunan” dan tanamlah pohon! Wallahu’alam.***

(Penulis adalah pemerhati masalah sosial-lingkungan dan pendiri Majelis Inspirasi Alquran & Realitas Alam/ MIQRA, Bandung).

Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia,
http://www.miqra.blogspot.com.
BACA ARTIKEL LAINNYA:

Arda Dinata

Arda Dinata is a writer for various online media, lives in Pangandaran - West Java. www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education | | Source for Sharing Inspiration, Knowledge and Motivation for Success | World of Business, Business, Boss, Rich, Money, Dollars and Success |

Lebih baru Lebih lama