Mengapa Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Tidak Berhasil di Indonesia?
(Kajian Teori Perubahan Perilaku dalam Penerapan KTR di DKI Jakarta)
Oleh: Arda Dinata
(NIM: 16/403188/PKU/16006 - Minat: Kesehatan Lingkungan)
Kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia masih menimbulkan perdebatan. Padahal, hasil kajian menunjukkan bahwa kebijakan merupakan cara efektif untuk mengendalikan tembakau atau mengurangi kebiasaan merokok.[1] Lagi pula, keberadaaan tembakau telah membunuh 100 juta jiwa selama abad 20 dan diperkirakan akan membunuh 1 milyar jiwa pada abad 21, bila terus dibiarkan.[2]
Pengaturan keberadaan KTR di Indonesia, diatur dalam: UU No. 36/2009 tentang Kesehatan; PP RI No. 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan; dan PB Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 188/Menkes/PB/I/2011 No. 7/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok. Tulisan ini, mencoba mencermati berdasarkan teori perubahan perilaku, mengapa kebijakan kawasan bebas asap rokok ini tidak berhasil di Indonesia?
Tulisan ini, mengkaji penerapan KTR yang dilakukan di wilayah DKI Jakarta. KTR diartikan sebagai ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau.[3]
Hasil survei Smoke Free Agent (Maret 2014 - Februari 2015) terhadap 1.550 gedung di Jakarta, menunjukkan 70 persen dari gedung pemerintah, mal, tempat ibadah, restoran, hotel, tempat bermain anak, hingga sarana olahraga masih penuh asap rokok.[4] Survei ini mengukur kepatuhan gedung terhadap Pergub No. 75/2005 dengan menggunakan 6 indikator, yaitu: tersedianya tempat khusus untuk merokok, bau asap rokok, jumlah asbak, jumlah punting rokok, jumlah orang sedang merokok, dan keberadaan tanda "dilarang merokok".
Berdasarkan indikator tersebut, tidak ada satu gedung pun di Jakarta yang memiliki tingkat kepatuhan terhadap Pergub No. 75/2005, lebih dari 50%. Tingkat kepatuhan lembaga pendidikan terhadap pengaturan kawasan dilarang merokok hanya 47%, institusi kesehatan (46%) dan gedung-gedung pemerintah yang seharusnya tunduk pada aturan yang dibuatnya sendiri, hanya memiliki tingkat kepatuhan 42%.[5] Pasar dinyatakan sebagai pelanggar tertinggi dengan tingkat kepatuhan sebesar 10%, disusul dengan restoran dan hotel.
Menyikapi data itu, tidak berlebihan bila dinyatakan bahwa wacana KTR gagal ditegakkan oleh pemerintah. Lalu, apakah ada hal lain yang bisa dilakukan pemerintah dalam penegakan KTR itu?
Kalau dilihat secara ilmu sosial, perilaku itu merupakan respon yang diberikan seseorang terhadap rangsangan dari luar. Terbentuknya perilaku ini dapat digambarkan dengan pendekatan teori Integrated Model Behavior (IMB). Faktor utama teori ini ialah niat (intention). Tapi, niat bukanlah faktor satu-satunya yang melatarbelakangi terjadinya perilaku. Namun, perilaku akan terjadi jika adanya keyakinan dari diri seseorang bahwa perilaku yang dilakukan itu memberikan manfaat bagi dirinya. Selain itu, adanya pengetahuan dan keterampilan; tidak adanya lingkungan yang menghambat perilaku; penting tidaknya perilaku itu bagi seseorang; dan pengalaman dalam berperilaku hingga menjadi kebiasaan merupakan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perilaku.[6]
Teori IMB ini menitikberatkan terbentuknya perilaku pada niat, sehingga dalam model ini diperlukan faktor-faktor yang memunculkan niat berperilaku, seperti: attitude, perceived norm, dan personal agency. Attitude ialah sikap individu terhadap perilaku didapatkan dari reaksi emosional individu terhadap perilaku dan kepercayaan seseorang terhadap dampak atau manfaat dari perilaku yang dilakukan.
Perceived norm ialah tekanan yang diterima dari lingkungan sosial untuk melakukan perilaku yang dapat diperoleh melalui kepercayaan normatif terhadap apa yang dipikirkan seseorang, motivasi terhadap perilaku tersebut, dan persepsi tentang apa yang dilakukan oleh lingkungan sosial. Personal agency, ialah kemampuan yang dimiliki individu untuk mengorganisasi dirinya pada suatu perilaku yang diperoleh melalui kepercayaan seseorang terhadap efektfitas dalam melakukan tugas tertentu melalui: kemampuan yang dimiliki (self efficacy); berbagai kontrol yang diterima individu terhadap perilaku saat ini; dan ditentukan oleh kontrol keyakinan (persepsi individu terhadap berbagai macam faktor lingkungan yang dapat mempermudah atau mempersulit perilaku).
Berdasarkan kajian teori perubahan perilaku di atas, maka kebijakan upaya pengendalian konsumsi tembakau ini, tidak berhenti pada penetapan peraturan KTR, tapi diperlukan pemberdayaan pada perokok dan non perokok mengenai bahaya asap rokok dan pentingnya penegakan KTR yang konsisten. Menurut Soerjono Soekanto, ada 5 faktor utama yang mempengaruhi proses penegakan hukum, yaitu: faktor hukumnya sendiri, penegak hukum (pihak yang membentuk dan menerapkan hukum), sarana penegakan hukum, masyarakat di mana hukum tersebut berlaku, dan kebudayaan.[7]
Hal itu sejalan dengan pandangan Syafrin Liputo, ada beberapa penyebab tingginya tingkat pelanggaran mengenai kawasan dilarang merokok di angkutan umum, yaitu: (1) Ketidaktahuan para awak penumpang angkutan umum atas aturan mengenai kawasan dilarang merokok. (2) Rendahnya tingkat kesadaran dan kepedulian dari para awak maupun penumpang angkutan umum mengenai gangguan rokok terhadap penumpang lain. (3) Kurangnya sosialisasi dan penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah. (4) Bagi sebagian orang merokok dianggap sesuatu yang sama seperti makan atau minum, sehingga dianggap lumrah untuk dilakukan di manapun dan kapanpun.
Sementara itu, World Health Organization (WHO) menyarankan ada 6 langkah strategis pengendalian tembakau, yaitu: (1) Monitor penggunaan tembakau dan kebijakan pencegahannya; (2) Perlindungan terhadap asap rokok; (3) Optimalkan dukungan untuk berhenti merokok; (4) Waspadakan masyarakat akan bahaya tembakau; (5) Eliminasi iklan, promosi dan sponsor terkait tembakau; dan (6) Raih kenaikan cukai tembakau. Bila keenam langkah ini dilaksanakan secara komprehensif melibatkan berbagai pihak akan dapat mengendalikan dampak penggunaan tembakau. *** (Arda Dinata).
Bagan Teori Integrated Behavioural Model
[1] Azkha, N. (2013). Studi Efektivitas Penerapan Kebijakan Perda Kota Tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Dalam Upaya Menurunkan Perokok Aktif Di Sumatera Barat Tahun 2013. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, 2(04).
[2] Wipfli, H., & Samet, J. M. (2016). One Hundred Years In The Making: The Global Tobacco Epidemic. Annual review of public health, 37, 149-166.
[3] PP No. 39/2012, Ps. 1 angka 11.
[4] Tempo.co, Kawasan tanpa Rokok, Gedung Pemerintah Masih 'Berasap', 30 September 2015, diakses 17 Januari 2016, http://metro.tempo.co/read/news/2015/09/30/083705091/kawasan-tanpa-rokok-gedung-pemerintah-masih-berasap.
[5] Ibid.
[6] Glanz, K., Rimer, B.K. & Viswanayh, K., 2008. Health Behavior and Health Education; Theory, Research, and Practice 4th ed. T. Orlean, ed., Jossey-Bass.
[7] Soerjono Soekanto (2008). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.