Pendidikan Seks Sebagai Penghalau Deviasi Seksual


40 Dagen Zonder SeksPendidikan Seks Sebagai Penghalau Deviasi Seksual
Oleh: ARDA DINATA

DEWASA ini, hampir setiap hari kita disuguhkan pada kenyataan hidup yang mencolok tentang berbagai masalah berhubungan dengan seks, misalnya perkosaan, keperawanan, kehamilan di luar perkawinan, impotensi, frigiditas, dan sejenisnya.

Selain itu, seks pun telah menjadi lahan eksploitasi dalam sektor komoditi dan hiburan. Eksploitasi seks ini seperti tidak ada batasnya yang jelas. Oleh karena itu, untuk memahami dan menghayati kecenderungan-kecenderungan seks yang berkembang dalam masyarakat, menurut dr. Nina Surtiretna, setidak-tidaknya diperlukan tiga hal, yaitu: (1) kemauan dan kejujuran untuk membicarakan masalah seks tanpa rasa malu atau memalukan; (2) pengetahuan dasar tentang seks dan kelainan seks yang umum; dan (3) turut menunjang penelitian dalam bidang seksologi.


Sejalan dengan itu, patut direnungkan apa yang dinyatakan Prof. Dr. Hassan Hathout ---Profesor obstetri dan ginekologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Kuwait--, bahwa fakta-fakta tentang seks harus diajarkan kepada anak-anak dengan cara yang sesuai dengan pertumbuhan usia mereka, baik oleh keluarga maupun sekolah. Kami menekankan ini harus dilakukan dalam konteks ideologi Islam dan ajaran Islam yang menyeluruh (kaffah), agar para remaja --di samping mendapatkan pengetahuan psikologis yang benar--- menjadi sadar sepenuhnya atas kesucian hubungan seksual dalam Islam; dosa besar jika menodai kesuciannya, baik menurut hukum Islam maupun –jauh lebih utama—dalam pandangan Allah.

Oleh karena itu, orang tua perlu mengetahui tentang pendidikan seks dari ahlinya. Islam sendiri dalam banyak dalilnya mengharuskan orang tua berterus terang mengajar anaknya mengenai masalah seks dan “keinginan batiniah”. Sehingga jadikanlah Alquran sebagai `medium' pendidikan seks terbaik bagi orang tua dan anak-anaknya (baca: QS. Al Mu’minuun [23]: 5,6,7,12,13; QS. Al Baqarah [2]: 187; QS. Al Ahqaaf [46]: 15; QS. Al A’raaf [7]: 80-81; dan QS. Al Israa’ [17]: 32).

Dalam hal ini, Endok Sempo Mohd Tahir dalam Pendidikan Seks Tidak Menyalahi Agama, menyebutkan bahwa pendidikan seks kepada anak-anak dalam perspektif Islam seharusnya melalui tiga tahap sesuai dengan peringkat perkembangan anak.

Pertama, tahap tamyiz (mumayiz), usia 7-10 tahun.

Pada tahap ini anak-anak diajarkan mengenali identitas dan nilai diri yang berhubungan erat dengan organ biologinya serta perbedaan lelaki dan perempuan. Mislanya konsep thaharah selepas buang air kecil dan besar;  mengenai fungsi biologi wanita; pemisahan tempat tidur lelaki dan perempuan serta tempat tidur orang tua (untuk menghindari anak dari melihat adegan yang tidak sepatutnya dilihat). 

Kedua, tahap murahaqah, usia 10-14 tahun.

Pada tahap ini, anak diberikan penjelasan mengenai fungsi biologi organnya secara ilmiah. Ini termasuk mengenai aurat, kesopanan, akhlak pergaulan lelaki dan perempuan, menjaga diri. Bagi anak perempuan seharusnya dijelaskan tentang masalah haid. Mengenai kewajiban selepas haid dan persetubuhan. Jauhi perbincangan yang membawa kepada perasaan yang menimbulkan nafsu seks.

Ketiga, tahap baligh, usia 14-16 tahun.

Anak diberi tahu mengenai maksud baligh, perasaan dan naluri seks anak perlu ditangani dan dibicarakan secara rasional dan objektif. Begitu juga dengan perbincangan mengenai hubungan seks yang menyebabkan hamil dan tidak seharusnya dilakukan oleh orang yang belum menikah. Tegaskan bahwa Islam mengharamkan seks sebelum kawin (zina) dan mesti diterangkan keburukannya dari segi agama, kesehatan, psikologi dan tekanan emosi. Menjelang dewasa, ajarkan adab memelihara kebersihan diri, kesehatan reproduksi, berhubungan seks dan memelihara diri dari seks bebas. 

Dalam bahasa lain, seperti ditulis Yunita MY, S.Pd., pada dasarnya pendidikan seks yang terbaik adalah yang diberikan oleh orang tua sendiri. Diwujudkan melalui cara hidup orang tua dalam keluarga sebagai suami-istri yang bersatu dalam perkawinan (Aryatmi, 1985; Tukan, 1989; Howard, 1990). Pendidikan seks ini sebaiknya diberikan dalam suasana akrab dan terbuka dari hati ke hati antara orang tua dan anak. Kesulitan yang timbul kemudian adalah apabila pengetahuan orang tua kurang memadai (secara teoritis dan objektif) menyebabkan sikap kurang terbuka dan cenderung tidak memberikan pemahaman tentang masalah-masalah seks anak. Akibatnya anak mendapatkan informasi seks yang tidak sehat.

Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia, http://www.miqra.blogspot.com.


BACA ARTIKEL LAINNYA:

Arda Dinata

Arda Dinata is a writer for various online media, lives in Pangandaran - West Java. www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education | | Source for Sharing Inspiration, Knowledge and Motivation for Success | World of Business, Business, Boss, Rich, Money, Dollars and Success |

Lebih baru Lebih lama